Oleh : Sahabat Rully Ferdiansyah
Sinopsis buku Tahun-Tahun Yang Hilang di Afrika Selatan :.
Kisah
Kesabaran Seorang Lelaki Tua Dalam Menjalani Tahun-Tahun Terakhir
Kehidupannya Ketika Diasingkan ke Afrika Selatan, Yang Kemudian
Kesabarannya itu Menginspirasi Nelson Mandela, Pemimpin Agung Afrika.
Kisah
tahun-tahun yang hilang di Afrika Selatan memang suatu cerita yang
mutakhir, memberikan pencerahan. Ada keteguhan dalam memegang prinsip,
kesabaran kekuatan hati, pun juga semangat yang tak pernah menyerah
akan keadaan yang memprihatinkan.
Cerita ini sendiri
terinspirasi dari sejarah kehidupan Syekh Yusuf AL Makasari Al Bantani
saat diasingkan ke Afrika Selatan, suatu kisah panjang yang
menceritakan seorang tahanan politik yang mencoba untuk memulai hidup
baru di daerah yang terisolir dari dunia luar. Berusaha keras untuk
tetap tegar demi keluarganya, yang ikut serta bersamanya, hidup di dalam
pengasingan.
Berbeda dengan keadaan sebelum sewaktu
sebelum diasingkan ke Afrika Selatan, sang tokoh Protagonis beserta
keluarganya adalah seorang keluarga kesultanan Bontam yang begitu
dihormati banyak orang. Tetapi semenjak kesultanan Bontam jatuh di
tangan VOC, kehidupan sang tokoh protagonis yang bernama abah Ayub,
berubah drastis. Abah Ayub beserta keluarganya tersudut dalam ironi
yang sangat menyedihkan, karena harus menyesuai diri dan memberikan
pemahaman kepada keluarganya agar bisa hidup dengan damai di tempat
pengasingan, di Afrika Selatan.
Konflik demi konflik pergulatan
jiwa terus membayangi abah Ayub dan semua keluarganya ketika mencoba
untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan mereka di Afrika Selatan. Upaya
keras dalam membangun persahabatan, menjalin kepercayaan dengan orang
asli Afrika Selatan, dan juga upaya untuk mencoba kembali mempercayai
orang kulit putih di Afrika Selatan (Afrikaaners), merupakan
suatu cerita panjang yang mencoba untuk menunjukkan kepada kita akan
kekuatan mental dan semangat untuk hidup meski dalam keadaan yang
sulit. Empati, takdir kehidupan, sifat pengertian untuk memaafkan
semuanya ada di sini. Suatu sikap kebajikan hidup yang sederhana, sikap
kebesaran hati yang semua orang sudah mengetahuinya, namun menggema
hingga berabad-abad kemudian, hingga akhirnya menjadi kekuatan yang
menginspirasi dalam perjuangan seorang tokoh pejuang Afrika Selatan
yang bernama Nelson Mandela dalam menentang Apartheid.
Pengantar
Sebagai
orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Banten, Jujur, baru kali ini
saya mengetahui ada tokoh ulama pejuang seperti Syaikh Yusuf Al Makasari
Al Bantani, ketika pertama kali saya mengenal Syaikh Yusuf dari
Internet yang saya baca, saya kagum akan kisah kepahlawanannya dalam
menentang penjajah, dan semangatnya untuk kemanusiaan di Afrika Selatan
hingga menginspirasi Nelson Mandela. Karena besarnya jasa Syaikh Yusuf
terhadap perjuangan orang Afrika Selatan dalam menghapus Apartheid,
Syeikh Yusuf diangkat menjadi pahlawan nasional di Afrika Selatan,
begitu pula di Indonesia, tapi sayangnya, banyaklah orang-orang di
Indonesia, terutama orang Banten khususnya, pada umumnya belum
mengetahui siapa itu Syaikh Yusuf. Hal ini membuat saya sedih, maka
timbul kesadaran dari diri saya untuk memberikan gambaran menyeluruh
mengenai kehidupan, dan prestasi lelaki tua yang luar biasa ini saat ia
menjalani pembuangannya di Afrika Selatan, walaupun saya sadar
sepenuhnya, Selain Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Yusuf adalah figur
paling menonjol dalam bidang spiritual dan kemanusiaan yang berasal
dari Banten, ia telah menulis beberapa puluh karya keagamaan sewaktu
menjalani pengasingan di Sailan (Srilangka), dan setiap karyanya
menjadi sumber inspirasi dan pencerahan bagi para kafilah haji yang
berasal dari Nusantara, yang berjuang menentang penjajah, kini
karya-karya Syekh Yusuf masih bisa dijumpai di pesantren-pesantren
salafiyah dan padepokan-padepokan Tarekat, ajaran-ajarannya masih
lestari hingga saat ini. Tetapi tidaklah banyak orang yang mengetahui
detail kehidupan Syaikh Yusuf pada tahun-tahun terakhir kehidupannya di
Afrika Selatan. Meski begitu, dampak dari keberadaan Syekh Yusuf di
Afrika Selatan sangatlah luar biasa. Hal tersebut mendorong saya untuk
mengetahui lebih jauh tentang sosok Syekh Yusuf.
Kisah
yang saya tulis dalam buku ini terinspirasi dari sejarah Syekh Yusuf,
khususnya ketika ia berada di Afrika Selatan. Tokoh utama dalam kisah
ini juga sengaja saya berikan nama Ayub bukan nama Syekh Yusuf,
mengingat karya yang saya tulis ini bukanlah karya ilmiah melainkan
karya sastra, jadi, bisalah dikatakan, nama abah Ayub, yang jadi tokoh
protagonis dalam cerita ini, adalah representasi dari kehidupan Syaikh
Yusuf saat menjalani kehidupan di Afrika Selatan, maka, setiap cerita
yang terungkap dalam cerita ini, saya coba untuk mengungkapkannya lebih
detail. Itulah mengapa saya menuliskan cerita ini dengan menamakan
tokohnya Ayub daripada nama Syekh Yusuf, karena, diperlukan keahlian
khusus sebagai ahli antropolog dan diperlukan juga modal yang tidak
sedikit untuk melakukan penelitian lapangan mengenai kehidupan Syekh
Yusuf di Afrika Selatan, sementara saya hanyalah seorang karyawan
pabrik sepatu yang sangat mengagumi Syekh Yusuf, yang sangat tidak
mungkin untuk melakukan semua penelitian itu. Kendati demikian, saya
tidak ingin semua keterbatasan yang saya miliki, menghalangi saya untuk
menuliskan kehidupan Syaikh Yusuf di tahun-tahun terakhir
kehidupannya, walaupun saya menuliskannya dari sudut pandang sastra,
jadi jangan mengharapkan keakuratan data dalam karya tulis saya ini.
Meski begitu, jelas sudah tidak diragukan lagi bahwa Syekh Yusuf adalah
seseorang tokoh ulama pejuang yang salih, yang menginspirasi, yang
dapat menyapa segala bentuk jalan hidup dan keyakinan, mampu melintasi
waktu selama berabad-abad dan beragam budaya. Kualitas kepribadian
agungnya seperti, kesabaran, kebaikan hati, sikap pengertian untuk
memaafkan dan lainnya, yang dimiliki Syaikh Yusuf, muncul secara
langsung dari hati, dan ini ditanggapi oleh rakyat Afrika Selatan
dengan meresapinya ke dalam jiwanya yang paling dalam, hingga
melahirkan sosok mulia seperti Nelson Mandela.
Meskipun,
karya tulis saya berupa sastra, tapi saya berusaha keras dengan
imajinasi saya untuk memperkaya akan diskripsi suasana, dan karakter
tokoh cerita seperti yang Syaikh Yusuf alami saat hidup di Afrika
Selatan. Cara bercerita yang saya kemas juga saya usahakan agar mengalir
dengan jernih, dengan sendirinya.
Baik itu abah Ayub ataupun
Syekh Yusuf, adalah sama-sama sosok orang tua yang lemah lembut, ramah
meski kehidupannya dipenuhi dengan keprihatinan, tetapi ia tetap
bersikap tenang dalam menghadapi cobaan, yang biasa ia (Ayub) namakan
‘Ujian Agung’. Mereka berdua adalah sama-sama seorang ksatria yang
selalu berjuang melawan kesia-siaan dengan kesabaran dan berdzikir,
benar-benar luar biasa, Syekh Yusuf adalah seorang pionir, perintis
perjuangan dengan cara anti kekerasan dalam melawan Apartheid di Afrika
Selatan, bukan Gandhi.
Dengan mengingat itu semua, saya
merasakan ada kebutuhan yang sangat mendesak agar ajaran dan pemikiran
Syekh Yusuf bisa lebih mudah diakses oleh khalayak ramai, meskipun itu
dengan perantara tokoh fiksi yang saya ciptakan bernama abah Ayub.
Tapi, untuk menuliskan cerita abah Ayub agar bisa selaras, paralel
dengan kehidupan Syekh Yusuf saat tinggal di Afrika Selatan bukanlah
hal mudah, karena saya merasa bukanlah orang yang mampu untuk
menyajikan karya sastra yang diambil dari inspirasi sejarah Syekh Yusuf
dengan cara yang tepat. Hanya Allah semata saja yang tahu apakah
penjelajahan saya yang terus menerus dan tiada henti, meski banyak
kekurangannya, akan mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Buku
sastra ini bukanlah dimaksudkan untuk menjadi bahan rujukan penelitian
ilmiah atau akademik. Sungguh buku ini tidaklah pantas untuk dijadikan
bahan referensi ilmiah kehidupan Syekh Yusuf saat menjalani
pengasingannya di Afrika Selatan. Seandainya Syekh Yusuf masih hidup,
dan membaca buku saya, mungkin ia akan tertawa terbahak-bahak, karena
banyaknya tulisan saya yang tidak didasarkan pada fakta di lapangan.
Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk menyampaikan pesan-pesan
kebijaksanaan dalam melaksanakan hubungan spiritual dan hubungan
kemanusiaan, yang dianut ulama-ulama leluhur, yang telah lama dilupakan
oleh bangsa kita. Suatu pemahaman akan kehausan untuk memiliki
kepribadian yang mulia, haus akan nama baik, keinginan kuat untuk
melakukan Takhalli (membersihkan diri) dari sikap-sikap yang tidak terpuji dan melakukan Tahalli (menghiasi diri) dengan sikap-sikap yang baik sesuai dengan keteladanan Rasul.
Tapi,
semoga saja apa yang saya sajikan dalam penulisan buku ini, bisa
mendorong para pembaca untuk mencari lebih jauh tentang Syekh Yusuf.
Kekayaan ajaran dan pemikiran Syekh Yusuf selama hidup di Afrika selatan
belumlah dijelaskan di dunia ilmiah dewasa ini. Keluasan dan
ketinggian ilmunya, yang menjadikan dirinya sebagai ulama yang
mendapatkan pengakuan sebagai ‘Putra Afrika terbaik’ dari Nelson
Mandela, juga karena mengingat besarnya kepercayaan Sultan Ageng
Tirtayasa pada Syekh Yusuf pada saat mengangkat Syekh Yusuf menjadi
mufti kerajaan Banten. Sudah tidak diragukan lagi, kalau
ajaran-ajarannya sangatlah perlu untuk dikenal dan diterapkan secara
luas. Selain itu juga, dengan keteladanannya yang dipenuhi dengan
wawasan luas tentang realitas manusia dan rahmat yang sejati, jelas
sangat tepat dan teramat dibutuhkan di dunia yang kini mengalami krisis
moral dan susila.
Sejarah telah menunjukkan bahwa Syekh Yusuf telah menjadi ulama yang berhasil membentuk dirinya menjadi ‘Rahmatan lil alamin’,
sesuai dengan sunnah Rasul, ketika ia memperoleh pengakuan pahlawan
nasional di negara Afrika Selatan. Rahmat bisa dipahami dan dirasakan
oleh semua manusia dan semua makhluk hidup, dengan kapasitas dan derajat
yang berbeda-beda pastinya, dengan perantaraan tindakan kebaikan dan
perhatian. Walau begitu, rahmat itu amatlah luas, tak mempunyai
batas-batas. Sepanjang masa kehidupan masyarakat Indonesia selama masa
penjajahan dan penindasan, realisasi sifat sejati dari rahmat telah
dilakukan oleh para ulama-ulama pejuang dari semua daerah di negeri
Indonesia. Dalam pandangan secara spiritual, kualifikasi rahmat yang
tak terbatas itu terlihat dan dapat diketahui semua keagungannya,
karena rahmat adalah faktor dalam eksistensi itu sendiri, dari yang
tertinggi sampai yang paling rendah, tak ada satupun yang lepas
darinya. Yang pasti, apapun dampak tertentu terhadap berbagai tingkat
keberadaan, ampunan dan rahmat yang tiada batas itulah yang ada di
dalam jantung kehidupan Syekh Yusuf. Saya menemukan kisah
mengenai kehidupan Syekh Yusuf saat menjalani pengasingannya di Afsel
adalah kisah yang menarik, indah dan menginspirasi, it’s a fascinating history,
saya mendapat banyak pelajaran berharga dari sejarah Syekh Yusuf, saya
harap para pembaca juga bisa merasakan hal yang sama dengan saya.
Saya
banyak berhutang budi kepada kedua orang tua saya dalam membantu
penulisan ini, rekan-rekan kerja. Berkat kedermawanan dan dukungan
merekalah, maka penulisan buku ini bisa rampung. (Serang, 17 November,
2010.)
"Orang yang
bijaksana bukanlah orang yang berbicara tentang kebijaksanaan atau
menggunakannya, tapi orang yang mampu membuat kebijaksanaan menjadi
Aktual, meskipun dia tidak menyadarinya sekalipun,"
(Ibn Arabi)
Perpisahan Para Haji
Sudah
delapan tahun lelaki tua itu tinggal bersama keluarganya di bumi
Sailan (Srilangka), tinggal di dalam pengasingan. Lelaki tua itu
sebenarnya orang besar. Setiap manusia di bumi Negri Bontam, baik itu
dari para ulama, masyarakat sampai tiap bangsawan kesultanan,
menyebutnya Syaikh Muhammad Ayub Al Cikulur. Tetapi hatinya akan merasa
sedih jika ia dipanggil dengan sebutan Syaikh Agung sang Mufti
Kerajaan. Semua orang tak hendak membuat sedih hati orang tua itu, maka
mereka selalu menyebutnya dengan abah Ayub.
Semasa abah
Ayub masih menjadi Mufti Kesultanan Bontam, bersama rakyat Negri
Bontam, ia sempat bertempur melawan Belanda, yang memakan banyak korban
di dua pihak. Tapi semenjak teman dekatnya, yang juga Sultan Negri
Bontam ditangkap Belanda, perhatiannya tertumpah pada putra mahkota,
Pangeran Salam yang meneruskan perjuangan ayahnya. Ia kembali berjuang
bersama Pangeran Salam dengan bergerilya, semangat perjuangannya
menentang dominasi Belanda tidaklah berkurang. Karena kegigihannya
itulah, yang menyebabkan ia dibuang ke Sailan bersama keluarganya dan
santri-santrinya.
Beberapa tahun belakangan ini, jamaah
haji yang berasal dari Nusantara semakin ramai saja datang singgah ke
bumi Sailan, jika semua jamaah haji sudah tiba di pulau Sailan, tempat
yang wajib mereka datangi untuk bersilaturahmi adalah tempat abah Ayub.
Pada musim haji, rumah abah selalu saja ramai dikunjungi para jamaah
haji yang datang berkunjung. Selain karena ilmu agamanya yang tinggi,
tapi juga karena rasa senasib, dan sependeritaan karena dijajah orang
Belanda, abah Ayub sering dijadikan tempat bertanya, dan berkonsultasi
oleh para jamaah haji asal Nusantara.
Kadang abah Ayub
juga merasa kerepotan dalam melayani para kafilah haji, karena jamaah
kafilah haji yang datang berkunjung padanya tidak bisa dikatakan
sedikit, tapi sangatlah banyak. Kendati demikian, abah Ayub merasa
sangat senang bisa bertemu dengan para kafilah haji yang berasal dari
Nusantara, kadang ia bisa bertemu dengan kerabat dan sanak familinya
dari jauh, ia bisa melepas rindu pada saudara-saudaranya, dan
menanyakan kabar sanak familinya yang berada di tanah air.
Kini
abah menanti di rumahnya, ia duduk di beranda rumah bersama cucunya
yang berumur delapan tahun, Rabiah, mereka berdua menunggu kedatangan
kafilah haji yang akan mampir ke rumahnya. Ia sudah merasa penasaran
dengan perkembangan apa saja yang telah terjadi negeri Bontam setahun
belakangan ini, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang akan ia
tanyakan pada saudaranya, Haji Barmawi, yang selalu naik haji agar bisa
bertemu dengan abah Ayub di Sailan. Dari Haji Barmawilah abah
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perjuangan rakyat Bontam
yang saat ini tengah ditindas, dijajah oleh VOC.
Tapi
sudah dua jam abah duduk menanti, kafilah haji tersebut belum juga
tiba, biasanya pagi-pagi sekali, Haji Barmawi beserta rombongan haji
yang dipimpinnya sudah tiba di rumah abah. Abah merasa khawatir, dalam
hatinya, abah banyak berdo’a pada Allah, ia mendo’akan keselamatan dan
keamanan para kafilah haji yang singgah ke Sailan. Jadi begitulah yang
dilakukan abah setiap kali musim haji tiba, duduk di beranda rumahnya
sambil memandangi halaman rumah yang dipenuhi dengan pohon-pohon kamboja
yang hijau dengan penantian penuh harap.
Karena kafilah
haji yang dinanti belum juga tiba, abah berdiri, dan berjalan
mondar-mandir, lalu mulai berjalan ke halaman rumah, melihat keluar
halaman rumah, menembus pepohonan yang lebat, abah berusaha mencari
tanda-tanda kedatangan kafilah haji. Abah tidak menyadari, jika di
pelabuhan, semua jamaah haji yang baru turun dari kapal tengah dihadang
oleh pasukan kompeni. Pasukan kompeni yang menghadang jamaah-jamaah
haji dari Nusantara sangatlah banyak sekali, dan terdiri dari berbagai
macam pasukan, ada pasukan yang berkuda, dan adapula pasukan yang
berjalan kaki.
Melihat pasukan-pasukan kompeni yang
bertampang siap membunuh itu, Haji Barmawi merasa terkejut bukan main.
Pikirnya, mengapa pasukan-pasukan kompeni itu bersikap sangat kasar
kepada kafilah haji yang datang dengan damai. Haji Barmawi merasa geram
dengan tindakan kasar para opsir kompeni itu, meski dilanda perasaan
amarah, tapi Haji Barmawi berusaha menenangkan dirinya, dan para
kafilah haji yang dipimpinnya itu.
“Jelaskan pada kami, mengapa
kami tidak diperkenankan untuk keluar dari pelabuhan ini?” kata Haji
Barmawi pada salah satu pemimpin opsir kompeni yang menaiki kuda.
“Kami
hanya menjalankan perintah atasan, saya peringatkan sekali lagi,
penuhilah kebutuhan kalian untuk berhaji di pelabuhan ini, kami sudah
menyiapkan kebutuhan kalian untuk berhaji di pelabuhan ini, tapi jangan
pernah mencoba keluar dari pelabuhan, kami takkan segan-segan untuk
menembak para haji yang melanggar aturan ini,” kata Letnan Kueffeler.
“Apakah kalian akan menembak rombongan haji yang tidak bersenjata ini?” kata Haji Barmawi.
“Ya..
kami akan melakukannya jika kalian bersikeras untuk keluar dari
pelabuhan,” kata Kueffeler, tegas. “Pasukan.. siapkan senjata, tembak
semua calon-calon haji ini, jika mereka memaksa untuk keluar dari
pelabuhan, biar mereka melaksanakan hajinya di Neraka,” lanjut
Kueffeler.
Begitu mendengar instruksi dari Kueffeler,
semua pasukan kompeni langsung menyiapkan senjata apinya, masing-masing
pasukan kompeni memasukkan satu butir peluru yang berbentuk bulat
seperti kelereng, setelah peluru dimasukkan, mereka mengeluarkan
kantung serbuk mesiu yang diikat di ikat pinggangnya, kemudian membuka
isi kantung serbuk mesiu itu, lalu memasukkan serbuk mesiu itu ke dalam
mulut senapan, dan sesudah serbuk mesiu dimasukkan, mereka menjejalkan
batang besi tipis ke dalam mulut bedil, untuk memadatkan semua isi
mesiu dan peluru yang sudah dimasukkan sebelumnya, sekarang semua
senapan para pasukan kompeni itu, sudah siap untuk ditembakkan. Semua
senapan api jaman akhir tahun 1600-an itu ditodongkan pada rombongan
para haji.
Semua prosedur penyiapan senjata api yang
dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan militer itu, membuat semua orang
sipil yang melihat itu pastilah akan mati walaupun senjata api
tersebut tidak ditembakkan. Begitupula dengan para kafilah haji, semua
calon haji tersentak kaget, mereka sama sekali tidak mempercayai apa
yang dilihatnya, sebuah pemandangan mengerikan, dimana beberapa pasukan
tentara kulit putih, tengah menyiapkan diri untuk membantai rombongan
haji.
Haji Barmawi tidak ingin semua calon haji yang
dipimpinnya itu mati konyol, maka ia pun berusaha keras untuk meredam
situasi yang panas, ia berusaha untuk menenangkan para jamaah haji.
“Tenanglah
kawan-kawan, jangan sampai kita memperburuk situasi, ingat pesan abah
Ayub pada musim haji tahun kemarin, ia memerintahkan kita untuk
menghindari pertumpahan darah yang sia-sia, tak ada yang namanya mati
syahid di sini, pertempuran kita bukan di sini, pertempuran kita bukan
di sini!” kata Haji Barmawi. “Lebih baik kita shalat Khauf berjamaah,
dan berdzikir pada Allah, memohon keselamatan,”
“Lalu
bagaimana dengan abah, apakah untuk musim haji tahun ini kita takkan
bisa bertemu dengan abah?” tanya salah seorang jamaah haji.
“Entahlah,
saya tidak tahu, yang pasti, kita harus mencegah terjadinya
pertumpahan darah yang sia-sia, kita datang kesini untuk naik haji
bukan untuk berperang” ujar Haji Barmawi. “Marilah kita berdo’a bersama
dalam shalat Istigosah, kiranya Allah akan memberikan penjelasan
maksud semua ini,”
Dengan dipimpin Haji Barmawi, semua
jamaah calon haji bersiap-siap melakukan shalat Istighosah, meski cuaca
pada hari itu sangat terik, tapi para jamaah calon haji tak
memperdulikannya, mereka seolah tak merasakan panas matahari itu. Para
pasukan kompeni juga merasa heran dengan pemandangan yang dilihatnya,
sebuah pemandangan yang menggetarkan jiwa, dimana sekitar 500 calon
haji melakukan shalat Istighosah di lapangan pelabuhan. Baju-baju putih
yang dikenakan para kafilah calon haji membuat silau bagi mata yang
memandangnya, semua opsir kompeni pun tak sanggup melihat shakat
Istighosah yang dilakukan para jamaah calon haji itu, semua tentara
kompeni itu hanya bisa berdiri sambil menodongkan senjatanya,
mematung, menunggu semua jamaah calon haji meninggalkan pelabuhan
Sailan, dan melanjutkan perjalanan naik Haji ke Mekkah.
*
Beberapa
orang kulit putih datang ke rumah abah dengan berkuda, mereka semua
memakai baju militer, kedatangan mereka sangatlah ganjil, abah Ayub tak
mengharapkan kehadiran mereka. Setelah selesai mengikat kuda-kudanya
di depan halaman rumah abah, beberapa orang kulit putih menghadap pada
abah Ayub yang tengah duduk di beranda rumah, abah sangat mengenal
salah seorang dari tujuh orang kulit putih yang bertamu padanya, dengan
penuh kesopanan, abah mempersilakan tamu-tamu kulit putihnya itu masuk
ke beranda rumahnya.
“Silahkan masuk,” kata abah.
“Terima kasih tuan guru,” kata gubernur pemerintahan kolonial Sailan, Frederick De Kuck.
“Apakah
yang membuat tuan gubernur repot-repot datang kemari, tanpa
memberitahu kami? Apakah ada yang bisa saya bantu?” kata abah.
“Ya,
saya akan memerlukan banyak bantuan tuan,” kata Frederick, lalu mulai
berjalan menaiki tangga rumah abah bersama anak buahnya, lalu duduk di
tempat duduk yang telah tersedia di beranda rumah abah. “Sebenarnya
keperluan kami kemari adalah untuk...” kata Frederick, tapi ia merasa
bingung untuk meneruskan ucapannya.
“Mengapa tuan bingung, saya
tahu kedatangan tuan dan anak buah tuan ada maksud penting yang perlu
tuan sampaikan pada saya, katakanlah terus terang,” kata abah, ramah.
Melihat
keramahan abah tersebut, Frederick merasa makin bersalah, ia berlutut
di hadapan abah, membuka topi dinasnya, dan menundukkan kepalanya,
mukanya penuh harap, Frederick mengharapkan kebijaksanaan abah dalam
situasi yang panas saat ini.
“Kita telah berteman sejak lama,
saya sangat menghormati dan mengagumi tuan guru sebagai orang yang
jujur, dan perihal ini sangat berat bagi saya untuk mengatakan ini,
tapi saya sudah mendapat Besluit dari Kerajaan Belanda yang memerintahkan saya untuk memindahkan abah dari rumah ini ke Afrika Selatan.” kata Frederick.
“Afrika
Selatan? Mengapa? Oooh tidak, apakah tidak cukup kalian sudah
mengasingkan saya di Sailan selama delapan tahun, delapan tahun, dan
sekarang ketika kami sudah kerasan di sini kalian akan mengirim saya dan
keluarga saya ke tempat yang sama sekali tidak ada peradabannya,
kalian ingin mengirim saya ke hutan, bagaimana kami akan hidup di
hutan, katakan pada saya?” kata abah, sedikit gusar, kemudian menarik
nafas dalam-dalam, mencoba untuk menerima kenyataan, lalu sambil duduk
dengan terkulai, abah mengelus dadanya.
“Saya juga tidak setuju dengan perintah Besluit ini,
tapi tuan jangan khawatir. Mengenai kehidupan baru tuan di Afrika
Selatan, pemerintah akan menjamin kehidupan dan kesejahteraan tuan di
Afrika Selatan, kumohon tuan untuk pindah, pemerintah Kerajaan Belanda
telah bertekad ingin memindahkan tuan dan semua keluarga tuan ke Afrika
Selatan, apapun caranya, dan sekarang semua pasukan kompeni sudah
menahan semua jamaah calon haji di pelabuhan, itulah mengapa tak ada
kafilah haji yang datang ke sini,” kata Frederick.
“Betapa
teganya, betapa kejinya cara kalian, kalian mengancam saya dengan
keselamatan pemberangkatan jamaah calon haji, jika kalian menggunakan
cara itu, maka saya pun merasa terancam dan merasa takut dengan ancaman
anda itu, baiklah kalau kalian menghendaki saya dan keluarga saya
pindah, saya akan pindah,” kata abah, menundukkan kepalanya, lemas.
Semua
keluarga abah, termasuk santri-santrinya banyak yang menangis, ketika
mereka mengetahui bahwa mereka harus pindah ke Afrika Selatan. Diantara
keluarga abah yang paling histeris dalam menerima kepahitan hidup itu
adalah istri muda abah, Aisyah. Sewaktu melihat barang-barang rumah
yang mulai dikemas oleh para santri abah, Aisyah menangis
sekeras-kerasnya, ia berlutut, kakinya lemas, tak mampu untuk berdiri,
ia tak kuat melihat kenyataan itu, istri tua abah, Fatimah segera saja
menghampiri Aisyah, ketika ia melihat Aisyah yang tengah Shock, Fatimah
langsung memeluknya, dan mencoba menghiburnya.
“Sudahlah Aisyah, jangan menangis lagi, jangan menangis lagi, istighfar..istighfar, kuatkan hati,” kata Fatimah.
“Mereka
telah merampas kesultanan milik ayah saya di Bontam, dan sekarang
mereka hendak merampas kehidupan sederhana kita di sini, mengapa mereka
melakukannya ketika kita sudah kerasan tinggal di sini?” kata Aisyah,
histeris.
Fatimah diam saja, tak menjawab pertanyaan
Aisyah, ia hanya bisa merangkul Aisyah lebih erat, mengusap-ngusap
kepalanya, memberikan kasih sayang, menghiburnya untuk meringankan
beban Aisyah, meski ia juga merasakan kesedihan yang amat mendalam.
Barang-barang
perabotan rumah abah Ayub tidaklah begitu banyak, semua santri-santri
hanya mengemas baju-baju, perlengkapan alat-alat tukang, seperti golok,
gergaji dan kapak, hanya itu saja yang mereka bungkus, dikemas untuk
dibawa ke Afrika. Tapi sewaktu semua santri-santri abah hendak mengemas
buku-buku keagamaan karya guru mereka, abah Ayub. Salah seorang anak
buah Frederick mencegah mereka. Berdasarkan Besluit pemerintah
Kerajaan Belanda, abah Ayub dilarang membawa buku-buku keagamaan
karangannya, bahkan kitab suci Al-Qur’an pun ikut pula dilarang untuk
dibawa. Semua santri abah menjadi emosi karena dilarangnya membawa
buku-buku tersebut.
“Apakah bahayanya kami membawa buku-buku
keagamaan, kenapa kalian melarang kami membawa buku-buku ini?’ kata
salah seorang santri abah, Somad.
“Maafkan saya tuan, saya hanya
menjalankan perintah saja, dan perintahnya adalah untuk melarang kalian
membawa kitab-kitab keagamaan karangan guru kalian,” kata salah
seorang anak buah Frederick.
“Ada apa ini? Benarkah yang kau katakan itu?” kata abah, menghampiri Somad dan opsir kompeni.
“Benar Tuan guru,” kata opsir kompeni.
Abah
merasa marah dengan keterangan yang baru saja di dengarnya itu, ia
akan meminta penjelasan dari Frederick, maka dengan tergesa-gesa ia
berjalan menghampiri Frederick yang tengah sibuk memperhatikan anak
buahnya yang sibuk mengemas barang-barang abah.
“Apakah itu benar, kalian tidak memperkenankan kami untuk membawa kitab-kitab kami,” tanya abah.
“Betul tuan, itu benar, tuan guru hanya diperbolehkan untuk membawa perlengkapan-perlengkapan yang pokok saja,” kata Frederick.
“Kenapa?”
“Begini
tuan, keberadaan tuan selama delapan tahun di pulau Sailan, dinilai
sangat membahayakan pemerintah kolonial di Nusantara, pemikiran tuan dan
ajaran tuan yang di bawa pulang oleh para kafilah haji yang singgah
kemari, sungguh sangat meresahkan pemerintah kami, oleh karena itu
pemerintah kolonial pusat memutuskan untuk menyita semua kitab-kitab
keagamaan karangan tuan, seandainya saya bisa mencegahnya, saya akan
mempersilakan tuan guru untuk membawa kitab-kitab, saya sendiri tidak
peduli dengan pemikiran dan ajaran tuan, tapi keputusan itu bukanlah
ditangan saya,”
“Apakah itu termasuk dengan kitab suci Al-Qur’an, apakah kalian melarang kami membawa Al Qur’an?”
“Sayangnya iya, Qur’an juga termasuk dalam buku-buku yang dilarang,”
Tubuh
abah Ayub terasa lemas, ia mencari-cari kursi untuk menyandarkan
tubuhnya, dan ketika ia telah menemukan kursi, abah duduk terkulai di
kursinya, ia tak mampu berkata-kata, ia merasa sedih bukan main, ia tak
peduli dengan kitab-kitab karangannya, tapi ia memikirkan betapa
kejamnya pemerintah Belanda yang melarang dirinya membawa kitab Al
Qur’an. Bagaimana ia bisa hidup tanpa Al Qur’an. Abah berusaha
menguatkan hatinya dalam menerima kenyataan pahit itu, bahkan ketika
Somad datang mengeluh mengenai perihal pelarangan membawa kitab Al
Qur’an itu, abah hanya bisa menyarankan Somad untuk sabar dan
bertawakkal pada Allah.
“Bagaimana kita bisa bersabar, jika harga diri kita sebagai umat muslim diinjak oleh orang kafir,” kata Somad emosi.
“Kendalikan
diri kamu,” kata abah, menatap tajam pada Somad. “Kemarilah, mari saya
tunjukkan padamu,” kata abah, lalu membawa Somad menuju halaman
beranda rumah, kemudian mengarahkan tangannya, menunjuk ke luar rumah,
ke arah pepohonan yang rindang. “Lihatlah dengan cermat, kamu akan
melihat ada beberapa pasukan kompeni yang berkuda yang menunggu di
tengah hutan, mereka semua bersenjata, kamu tahu itu apa artinya?”
tanya abah.
“Ya guru, mereka bertugas untuk mencegah dari kemungkinan yang terburuk, jika seandainya kita melakukan perlawanan,” kata Somad.
“Kita
takkan berguna bagi agama dan kemanusiaan jika kita mati konyol di
sini, bersabarlah, kamu harus kuat, sekarang bersiap-siaplah untuk
keberangkatan kita ke Afrika, turuti saja kemauan mereka,”
“Baik abah,” kata Somad, lemas, tak bersemangat.
Abah
tidak berkata apa-apa, pada hari itu abah tidak banyak bicara, ia
hanya diam saja, diantara semua orang yang bersedih karena harus
meninggalkan Sailan, sebenarnya abahlah yang paling bersedih mengenai
hal itu, tapi abah menguatkan diri, menguatkan hati untuk tidak
menampakkan kesedihan dihadapan keluarganya dan santri-santrinya,
meskipun ia telah lelah menguatkan diri. Sekarang, setelah semua
pekerjaan berkemas-kemas telah usai, dan abah beserta rombongan siap
untuk berangkat menuju pelabuhan, Frederick datang menghampiri abah.
“Maafkan
saya tuan, saya sudah berusaha meyakinkan pemerintah pusat untuk tidak
memindahkan tuan guru ke Afrika, tapi atasan saya tetap bersikeras
untuk mengasingkan abah ke Afrika, keberadaan tuan dianggap terlalu
berbahaya di pulau Sailan ini,” kata Frederick menyayangkan. “Tapi tuan
guru jangan khawatir, saya akan memastikan agar tuan guru dan keluarga
tuan guru diperlakukan dengan baik di Afrika, saya akan menyurati
gubernur Afrika Selatan, agar ia menjamin kesejahteraan tuan guru,”
“Saya
sangat menghargai kebaikan tuan gubernur, sekarang kami sudah siap
berangkat menuju pelabuhan, apakah tuan gubernur tidak ikut bersama kami
ke pelabuhan?” kata abah.
“Saya sangat ingin mengantar tuan ke
pelabuhan, tapi sayangnya saya harus disini dulu, saya harus
menginventarisasi inventaris negara di rumah tuan yang tuan tinggalkan
ini, pekerjaan yang membosankan, saya diminta untuk membuat laporan
administrasi mengenai keberangkatan abah ke Afrika, tapi saya akan
menyusul tuan guru secepatnya, begitu saya selesai membuat laporan,”
“Aaah.. baiklah kalau begitu,” kata abah, tersenyum ramah.
*
Para
jamaah calon haji baru saja menyelesaikan shalat Istighotsahnya dan
telah berdo’a dengan sepenuh hati dalam shalatnya, setelah hati mereka
terbakar karena penindasan yang dilakukan bangsa Belanda. Cuaca terasa
sangat panas, Haji Barmawi bangkit dari duduknya, ia berdiri di hadapan
para kafilah haji yang berjumlah ratusan itu. Haji Barmawi mengambil
tasbihnya, baru saja ia hendak menyarankan para kafilah haji untuk
berdzikir bersama dalam majelis dzikir, namun ia terpaksa membatalkan
niatnya saat ia melihat abah Ayub dan rombongannya tiba di pelabuhan
dengan dikawal beberapa pasukan kompeni. Semua calon haji langsung
berdiri, mereka bergegas menuju abah dan mengerumuninya, Haji Barmawi
juga tak ketinggalan, dengan susah payah ia berdesak-desakan dengan
para haji, berusaha mendekati abah. Begitu jarak Haji Barmawi sudah
amat dekat dengan abah, ia berusaha menegur abah, memanggilnya, tapi
abah tak balas menyahut, meski abah mendengar sangat jelas suara Haji
Barmawi, abah pura-pura tidak mendengarnya, jiwa abah tak kuat untuk
mengucapkan perpisahan dengan para calon haji, khususnya pada Haji
Barmawi. Merasa kesal karena diacuhkan oleh abah, Haji Barmawi merasa
kesal, maka ia berteriak pada abah.
“Jika abah masih menganggap
saya saudara, katakanlah apa yang terjadi, kenapa abah dan keluarga
abah dikawal kompeni? Jangan biarkan saya dan para calon haji merasa
penasaran, kumohon.. kumohon beritahukanlah pada kami,” kata Haji
Barmawi, lalu berlutut di hadapan abah, menundukkan kepalanya dengan
sedih.
Tidak hanya Haji Barmawi saja yang berlutut di
hadapan abah, semua calon haji juga ikut berlutut, ada beberapa haji
yang menangis, membuat suasana menjadi kelam. Abah merasa tak tega
melihat Haji Barmawi dan para calon haji lainnya berlutut di
hadapannya.
“Kawan-kawan para calon haji, sejak hari ini kalian
takkan pernah melihat saya lagi, tapi ingatlah segala pesan-pesan dan
nasihat-nasihat saya, jalankan ajaran agama Islam dengan penuh
penghayatan, dan jagalah persatuan umat agar kalian tidak bisa diadu
domba oleh penjajah, jagalah diri kalian, semoga haji kalian tahun ini
mabrur,” kata abah.
“Tidak.. kami takkan membiarkan orang Belanda menjauhkan abah dari kami,” kata Haji Barmawi, penuh emosi.
Semua
calon haji yang lain juga ikut terbawa emosi, dengan serentak mereka
meneriakkan Allahu Akbar. Semua tentara kompeni merasa gentar mendengar
teriakan Allahu Akbar itu, mereka merasa terancam. Letnan Kolonel
Kueffeler juga ikut pula merasa terancam dengan bangkitnya semangat
para haji. Karena merasa mendapat ancaman, Letkol. Kueffeler
mengumpulkan pasukan berkudanya dan memerintahkan para pasukan berkuda
untuk berjalan ke arah para Haji yang berkumpul, menggilas para haji.
Maka semua pasukan kompeni itu berkumpul menjadi satu barisan, bahkan
para tentara Belnada yang mengawal abah pun meninggalkan abah, berlari
ke arah pasukan Letkol Kueffeler dan ikut berkumpul bersama pasukannya.
Melihat
ratusan pasukan berkuda yang berjalan ke arah para haji, abah Ayub
berusaha keras menenangkan para calon haji, ia tak habis pikir, mengapa
orang Belanda bisa tega mau menggilas para haji yang tidak bersenjata,
yang berniat beribadah berhaji ke tanah suci. Abah takkan membiarkan
pasukan kompeni itu membantai para haji.
“Diammmmm... hentikan
teriakan kalian, lihatlah ke depan, ada pasukan berkuda yang bersiap
untuk membunuh kita, dan kini mereka tengah menambah kecepatan,” kata
abah, penuh emosi.
“Oh tidakk, apa yang akan kita lakukan?” kata Haji Barmawi.
“Jangan panik, kalian semua jangan panik, ikutilah aba-aba saya,”
“Aba-aba apa?” kata salah seorang jamaah haji.
“Pada
saat pasukan berkuda itu sudah dekat, sekitar jarak empat kaki, kalian
semua harus tiarap, tiaraplah kalian semua, agar kuda-kuda kompeni itu
tak mampu menggilas, menginjak-nginjak kita,”
“Baiklah.. kami semua akan mengikuti aba-aba dari abah,” kata Haji Barmawi, yang diikuti dengan anggukan kepala para calon Haji.
Pasukan-pasukan
berkuda itu mulai menambah kecepatannya sedikit demi sedikit, tiap
opsir dari pasukan yang berkuda pun mulai mengeluarkan pedang
panjangnya dari sarungnya, dan para haji hanya bisa menguatkan diri
dengan teriakan Allahu Akbar. Tapi ada juga beberapa calon haji yang
hanya bisa berdo’a dalam hatinya dengan mata terpejam dan mulut
berkomat-kamit. Sepertinya, diantara semua umat Islam yang berkumpul di
pelabuhan, hanya abah Ayub saja yang tetap teguh berdiri, tanpa rasa
takut. Abah menatap pasukan berkuda yang menuju ke arahnya, ia mengamati
dengan cermat pasukan-pasukan berkuda itu, dan ketika pasukan itu
sudah dekat, hanya tinggal sejarak 6 kaki saja, abah memberi aba-aba
dengan tangannya, memerintahkan para calon haji untuk bersiap-siap, dan
ketika pasukan-pasukan berkuda itu sudah memasuki jarak 4 kaki, abah
berteriak.
“Tiarappppppp.... tiarap semuaaaa,” kata abah, tapi
tetap pula berdiri tegak meski semua haji telah tiarap, berbaring di
tanah, semua tanah di pelabuhan mendadak menjadi putih, karena
tertutupi oleh para Haji yang bertiarap di atas tanah. Abah Ayub pun
terjatuh dari berdirinya, tapi tidak begitu keras, ketika berhadapan
dengan kuda yang ditunggangi Letkol Kueffeler, tapi anehnya, begitu
abah tersungkur ke tanah, hingga ikut pula bertiarap bersama para
jamaah haji yang lain, kuda Kueffeler berontak, meronta-ronta pada
majikannya.
Kuda-kuda yang lainnya pun langsung berhenti,
berontak pada tuan-tuan kulit putihnya, kuda-kuda tersebut berdiri
dengan kedua kakinya di belakang, sementara kedua kaki depannya
meronta-ronta, sehingga banyak para penunggang kuda yang terjatuh dari
kudanya. Letkol. Kueffeler adalah yang termasuk penunggang kuda yang
jatuh dari kudanya. Tubuhnya terjatuh dengan keras, hingga menyebabkan
dua tulang rusuknya patah, Kueffeler mengerang kesakitan. Dengan
dibantu anak buahnya, Kueffeler mencoba untuk berdiri.
“Dasar
haji-haji sialan, kenapa kalian tidak mati saja,” kata Kueffeler
berteriak sambil menahan rasa sakit di rusuknya yang patah.
Karena
merasa tidak ada lagi ancaman yang membahayakan jiwa, abah berdiri
dari tiarapnya, para calon haji juga ikut pula berdiri bersama
pemimpinnya abah dan Haji Barmawi. Mendengar kemarahan dari mulut
Kueffeler, abah tersenyum, ia menatap dengan penuh keramahan ke arah
Kueffeler. Pandangan ramah dari abah membuat Kueffeler menjadi merasa
serba salah, tapi ia tetap pula marah dan berteriak pada abah.
“Kalian
orang-orang fanatik dan orang-orang pembangkang, saya peringatkan
kalian untuk jangan membuat keributan di sini,” kata Kueffeler.
“Alhamdulillah
jika masih ada orang yang mau mengingatkan kami,” kata abah tersenyum,
“Tapi demi Allah, sebagai sesama manusia kita harus saling
mengingatkan,” lanjut abah, berubah raut mukanya menjadi serius, menatap
tajam pada Kueffeler.
Dalam situasi perdebatan itu,
Kueffeler hanya bisa diam saja, dipenuhi rasa malu tapi mencoba
menyembumyikan rasa malu itu dengan rasa marahnya. Ia merasa gengsi
untuk mengakui kesalahannya. Ia tahu, kalau dirinya sangat beruntung
masih bisa hidup karena terjatuh dari kuda, tidak seorangpun yang bisa
selamat dari kejadian jatuh dari kuda. Namun, demi rasa harga dirinya
pada anak buahnya, ia harus tetap memperlihatkan ketegasannya pada
musuh. Sekali musuh selamanya akan tetap menjadi musuh, begitu pikir
Kueffeler.
Frederick baru saja tiba di pelabuhan, dan
merasa terkejut saat melihat pasukan-pasukan kompeni yang berkuda
berkerumun mengelilingi kafilah haji. Ia tidak paham apa yang baru saja
terjadi, dan ia harus mengetahui apa yang baru saja terjadi. Dalam
tugasnya yang mengharuskannya untuk memastikan keberangkatan abah Ayub
ke Afrika Selatan dengan aman, membuat sikapnya menjadi tidak labil. Ia
benci tugas itu dan merasa kasihan pada dirinya sendiri, karena harus
mengusir orang mulia seperti abah. Abah Ayub adalah orang yang sangat
baik, sangat jujur, abah selalu bersikap sopan terhadap dirinya.
Sekarang, setelah Frederick mengetahui apa yang baru saja terjadi, ia
merasa marah terhadap Kueffeler, ia akan menegurnya nanti.
Sambil
mengendarai kudanya, Frederick masuk ke dalam kerumunan dan mencoba
untuk meredakan situasi. Di depan khalayak ramai, ia memarahi Kueffeler
dengan sangat keras, hingga membuat Kueffler hanya bisa terdiam,
menundukkan kepalanya, merasa malu kepada semua anak buahnya. Setelah
Frederick memarahi anak buahnya, dengan hati-hati ia turun dari
kudanya, menghampiri abah, kemudian dengan sopan ia meminta maaf pada
abah dan pada semua calon haji.
“Saya benar-benar meminta maaf
pada tuan, seharusnya saya bisa mencegah kejadian ini, dengan datang
kemari bersama tuan,” kata Frederick, menyayangkan.
“Sudahlah,
kejadian ini tidak bisa dihindari, tapi untunglah Allah menyelamatkan
kita semua,” kata abah. “Sekarang dimanakah kapal yang akan mengangkut
saya dan semua keluarga saya ke Afrika selatan?”
“Kapal yang ada
di hadapan tuan, kapal itu,” kata Frederick, sambil menunjuk dengan
jari telunjuknya ke arah kapal yang bertada di hadapan abah.
“Aaaah..
kapal yang sangat bagus, kalau begitu saya ingin berpamitan pada semua
kafilah haji, apakah itu dilarang?” kata abah, menyindir sambil
tersenyum ramah.
“Tidak... tidak silahkan tuan berpamitan,
mengucapkan salam pada semua kafilah haji, silahkan tuan guru,” kata
Frederick, dan abah pun tanpa membuang waktu, langsung berjalan
meninggalkan Frederick. Abah menghampiri kafilah haji, lalu mulai
berkata-kata pada calon-calon haji itu.
“Hari ini adalah hari
yang istimewa, jangan lupakan hari ini, jangan pernah lupakan hari ini,
hari dimana kita mengalami suatu peristiwa yang menakjubkan, hari
dimana Allah telah menunjukkan rasa kasih sayang-Nya pada kita.
Janganlah sampai kalian melupakan hari ini, karena jika kalian
melupakannya, kalian adalah orang yang tidak tahu berterima kasih,
tidak bersyukur. Kalian hampir saja tidak bisa berhaji pada hari ini.
Dengarlah semua perkataan saya baik-baik, dengan amat menyesal saya
sampaikan pada kalian, bahwa pada hari inilah saya akan berpisah dengan
kalian, kita takkan bisa bertemu lagi di kehidupan ini, tapi semoga
Allah akan mempertemukan kita di kehidupan berikutnya.” Kata abah,
menundukkan kepalanya, menangis. Semua calon haji pun ikut pula
menangis bersama abah. “Mulai hari ini saya takkan lagi tinggal di
pulau Sailan, pemerintah kolonial Belanda telah memutuskan untuk
memindahkan saya beserta semua keluarga saya ke Afrika Selatan, tempat
terpencil yang terputus dari dunia luar dan dunia agama, mulai sekarang
kita hanya bisa berjuang melalui do’a-do’a, ooohhh saudara-saudaraku..
do’akanlah saya dalam ibadah haji kalian pada tahun ini, doakanlah
keselamatan saya, keluarga saya di Afrika, saya juga akan mendo’akan
perjuangan kalian di negeri kalian. Ingatlah satu hal, meski orang
kulit putih telah melemahkan hukum Syariat dengan melemahkan
pemerintahan kesultanan dan melemahkan penguasa kesultanan yang akan
menjamin terlaksananya hukum syariat, menggantikannya dengan kesultanan
boneka, yang dengan pemerintahan boneka itu orang Belanda akan
memperbudak penduduk di negeri kita, tapi jangan khawatir, tapi jangan
khawatir, mereka bisa menghancurkan kerajaan surga di negeri kita, tapi
mereka takkan bisa menghancurkan kerajaan Allah di hati dan jiwa kita.
Hati kita sangatlah luas, karena hati kita dipenuhi dengan penghayatan
agama, hati kita adalah tempat berdirinya sebuah kerajaan, jadikan
hati kalian sebuah kerajaan Allah yang penuh dengan nilai-nilai
kebaikan pada sesama, jagalah kerajaan Allah dalam hati dan jiwa
kalian, jangan sampai ternoda oleh tipu daya penjajah kulit putih,
jangan sampai mau diadu domba, meski saya tak bersama dengan kalian
lagi, tapi do’a saya selalu menyertai kalian, saya akan mendo’akan
perjuangan kalian dalam tiap shalat saya. Do’a yang keluar dari hati
yang tulus adalah sebuah senjata ampuh dalam melawan penindasan,
janganlah berputus asa, tetaplah bersabar dan bertawakkal pada Allah, Insya Allah perjuangan
kita akan kemerdekaan akan terwujud, Oooh Saudara-saudaraku yang
seiman, laksanakan rukun haji ketika kalian mendapat kesempatan, karena
kelak kalian akan dilarang berhaji oleh penguasa, perbanyaklah sabar
di dalam kesempitan, tunjukkanlah kalian lebih baik daripada orang
kulit putih dengan kesabaran dan kebaikan hati, jangan ikut menjadi
penindas mengikuti penguasa, di jaman ini kalian harus banyak bertapa,
bertafakur, jauhilah dunia kekuasaan, jangan sampai kalian terjun ke
dunia politik, jangan pernah membantu penguasa, karena penguasa di jaman
sekarang telah ternodai oleh pengaruh penjajah, bersabarlah,
menyepilah, Insya Allah, Allah akan memenangkankan perjuangan
kalian di dalam kesunyian kalian, karena kesunyian kalian lebih kuat
daripada kata-kata,” kata abah, mengusap air matanya, lalu mulai
berjalan meninggalkan para calon haji, dengan langkah yang sangat berat
abah memaksakan diri untuk berjalan menuju kapal layar yang membawanya
dan semua keluarganya ke Afrika Selatan.
Untuk berjalan
menuju kapal bagi abah sangatlah sukar, karena para calon haji yang
menghadang, berebutan untuk mencium tangan abah. Hati abah makin terasa
remuk ketika para calon haji berebut mencium tangannya, banyak
haji-haji yang menangis, menangisi kepergian abah ke Afrika. Abah tak
boleh berlama-lama di tengah kerumunan para haji, hal itu hanya akan
menambah kesedihannya saja, dan abah tak boleh larut dalam kesedihan.
Maka abah bergegas berjalan menuju kapal, bersama keluarganya ia
langsung memasuki kapal, meninggalkan para haji. Tapi pada saat abah
beserta keluarganya tinggal selangkah lagi untuk memasuki kapal,
Frederick menahannya dengan sopan, Frederick merasa berkewajiban untuk memberikan sesuatu pada abah.
“Saya
merasa sangat bersalah karena melarang tuan membawa kitab-kitab tuan,
sekarang terimalah alat-alat tulis dan kertas-kertas polos ini dari
saya, mungkin abah berkeinginan untuk menulis lagi di tempat tuan yang
baru,” kata Frederick, sambil menyerahkan alat tulis dan dua dus kertas
polos pada abah.
“Terima kasih banyak, pemberian anda sangat
berarti bagi kami,” kata abah, lalu mengulurkan tangannya, menjabat
tangan Frederick dengan erat.
“Tidak.. sayalah yang berterima kasih,” kata Frederick, ramah, tersenyum.
*
Abah
Ayub berdiri di atas permukaan kapal layar yang besar, terbuat dari
bahan kayu yang kokoh, luasnya sama seperti kapal perangnya VOC, hanya
saja kapal layar ini berfungsi untuk pengangkutan sipil dan
rempah-rempah (Dagang), kapal Layar itu bernama De Roentoeg.
Pada saat kapal itu mulai mengangkat jangkarnya dan mulai berlayar,
abah melambaikan tangannya pada para calon haji, ia sadar sepenuhnya,
hari ini adalah hari terakhir ia bisa bertemu dengan Haji Barmawi dan
para calon haji yang mencintainya, hanya Aisyah saja yang tak mampu
untuk melambaikan tangannya, dengan mata yang memerah karena menahan
air mata, Aisyah hanya bisa melihat para haji, ada pula saudaranya yang
ia kenal diantara para calon haji itu, membuat hatinya makin remuk,
ketika ia melihat para kafilah haji yang berlarian di pelabuhan
mengikuti kapal yang mengangkut abah beserta keluarganya, para haji itu
melambaikan tangannya, sambil berteriak meneriakkan nama ‘Abah..abah’.
Somad masih belum bisa menerima kenyataan, ia mendapatkan ide untuk
kebebasan abah dan semua keluarga abah. Dengan hati-hati, Somad berbisik
pada abah yang sibuk menatap para haji dibawah kapal.
“Abah,
saya punya ide, bagaimana kalau kita kuasai kapal ini, lalu kita ubah
jalur kapal ini, ketika kapal ini sudah berada di tengah laut,,
bagaimana abah?” kata Somad.
“Ide yang menarik, tapi lihatlah dua
kapal itu yang ikut berjalan di belakang kapal kita, apakah kamu
menemukan sesuatu yang mencurigakan dari kedua kapal itu?” kata abah.
“Sepertinya kapal itu, kapal sipil,”
“Bukan
sembarang kapal sipil, lihatlah pada dinding-dinding kedua kapal itu.
Ada terdapat pintu-pintu misterius yang berukuran besar, jika tidak
salah, pintu-pintu tersebut biasa digunakan sebagai pintu meriam. Kedua
kapal yang membuntuti kapal kita itu adalah kapal militer, kedua kapal
itu bertugas untuk mengawal perjalanan kapal ini,” kata abah,
menjelaskan.
“Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?” kata Somad, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak
ada, kita tidak akan melakukan apa-apa,” kata abah, tegas. “Memang
sangat berat bagi kita untuk meninggalkan saudara-saudara kita, kita
pergi ke tempat asing, kenyataan itu sangat mengguncang jiwa, setiap
orang yang mengalami dengan apa yang kita alami pasti akan Shock, takkan
ada orang yang mampu menerima cobaan seperti cobaan kita, ini ujian
agung, tetapi meski cobaan itu berat, kamu harus bisa menghadapi
kenyataan, kita harus menerima kenyataan dengan pemahaman yang sempurna,
agar kamu bisa mengetahui hikmah dalam setiap peristiwa, bersabarlah,
bersabarlah, Allah beserta kita, Dia takkan meninggalkan hambaNya,”
kata abah, sambil memegang pundak Somad. Sementara Somad hanya bisa
menundukkan kepalanya, mencoba untuk menerima kenyataan.
(Bersambung ke Chapter Masa-masa Sulit)