Rabu, 17 Januari 2018

Pendarahan pada ibu hamil

Selasa 16 january 2017 malam yg tidak bisa dilupakan, dini hari itu istri saya yg bernama Nurma La sari yg sdg mengandung anak pertama saya pendarahan (blm diketahui penyebabnya)  kasur dipenuhi banyak darah, dengan santai istri saya msh bs baca buku pink dr bidan utk mempelajari bahayanya pendarahan, dgn istri saya bersih dikamar mandi slama 10 menit baru membangunkan saya tepatnya set 1 malam. saya melihat wajah istri saya tdk ada panik-paniknya sama sekali. sehabis bangunkan saya dia msk kekmar mandi lagi utk bersih2.. saya mulai panik dan mulas2 perutku, tp tertahan krn ingin cepat membawa ke bidan atau k rsia kurnia cilegon (terakhir usg 4januari dikurnia). akhirnya stlh saya pakaikan pembalut utk ibu hamil saya berangkat dgn msh menunjukan wajah yg sangat teramat cantik dan santainya istri saya berkata kt ke bidan aja (mungkin hwtir CS). akhirnya dimobil msh bs ngobrol dan bercanda, setibanya drmh bidan misnatun terletak di jl, garuda dkt smp 2 kota cilegon saya yg panik bertanya ke istri tlp appa enggak yah. istri jwb enggak usah takut lg istirahat, maklum orang tua penuh kesibukan sbg (anggota dprd banten) namun tetap bisa jk anak butuh bantuan, akhirnya saya menelpon kk saya Agus Rijal krn memang hanya dia yg sering begadang hingga pagi utk menemani dan meminta saran utk tlp appa atau tdk, akhrnya appa Drs Murta Wisaata langsung datang bersama kk saya Abdillah Alfatika smbl membangunkan kluarga besar saya, maklum rumah berdekatan. istri saya disuruh tidur druang bersalin tp krn darah banyak sekali dsarankan perawat utk bersih2 dkamar mandi hingga darah bercucuran dan mual hingga muntah, bidan hanya berdiri jauh d pintu masuk. hanya fokus pd kamar mandi yg mulai dpenuhi darah dan memerintahkan perwat utk membersihkan kamar mandi. bidan bilang mau ngecek bukaan namun urung dilakukan krn msh pendarahan hawatir malah nambah banyak kluar darah ungkapnya, akhirnya kami masuk ruang rawat inap kelas 2, krn kelas 1 ada yg sdh lahiran. kt disarankan utk pergi ke poli pagi hari dgn membawa rujukan. saya yg bodoh dan panik ini lupa jk bpjs dlm keadaan darurat bs dipake langsung (bpjs sakti). akhirnya stlh diperiksa perawat bukan bidan misnatunnya. diperiksa detak jantung didalam perut istri saya msh bagus ucapnya. tanpa ada tindakan lain2nya akhirnya perwat pindah kkamar lain (pasien lain). istri saya mala lapar dan lemas mt makan, saya belikan bubur dgn memesan gojek. makanan datang istri tdk bs makan dan mulai muntah2 lagi. istri saya kesakitan pinggangnya dahsyat skali tp tdk merintih hanya mt usap punggung sejam berlalu jam 2 lewat, aku bangunkan perawat utk cek namun dia bilang itu hal wajar usap2 aja punggungnya. sy menurut dan istri pun mengiyakan 2 jam saya usap istri saya masih kuat dan melihatkan wajah santainya. saya yg tdk kuat menahan ngantuk pamit tdur dbawah tepatnya jam 4. jam 5 sy dibangunkan istri sy utk solat dan sy solat, shbs solat sy cek istri saya msh dgn wajah manisnya bilang tlp mamah atau tetehnya. jam 7 pagi istri mulai melemah dan sy mulai panik dan ingin bw k rsia kurnia. bidan misnatun yg br turun dan perwat yg membuat surat pengantar segera menginfus istri dan hanya bilang "kl mau lahiran normal kesini aja". saya sy dan kk saya abdilah serta ipar saya Devi Susanti segera angkat tubuhnya yg melemah masuk kemobil saya dan dibantu minta rujukan oleh kk saya Aang Kunaefi ke kimia farma (faskes pertama). berangkat ke kurnia langsung ditindak dengan ambl sample darah dr tangan dan telinga. stlh mesan kamar vip saya bergegas ke kmar bersalin, istri dtemni kk ipar dan perawat dr bidan misnatun sedang berdiri saat baru sampai kamar bersalin, bidan dan perawat yang memeriksa bilang kl bayi dalam perut sudah gada detak jantung, melihat wajah istri saya yg tdk panik bahkan senyum ke saya tetap optimis. bidan bilang kl debay bs kluar normal 1 sampe 2 hari. krn faktor istri yg kehilangan banyak darah, bidan yg telponan dgn dokter bilang harus tindakan utk CS. saya disuruh putuskan, orang tua saya msh drmh utk ambl sarung krn 3 kain 3x ganti sdh penuh darah. sy bicara langsung k istri saya dgn muka lemah dan sdkt senyum bilang k saya utk ambl keputusan dan ikut kemauan saya. akhirmya tanpa pikir panjang sy blang cs utk menyelamatkan istri. dibius dan di cek darah lagi, memakai baju Operasi istri saya menggunakan pakaian operasi istri saya meninggalkan ruangan bersalin sambil melihatkan wajah cantiknya dan tidak takut mengahadapi OP pertamanya. sambil tos ke istri, sy bilang semoga berhasil (lupa dipoto). akhirnya 1 jam menunggu tepatnya jam 10.52 siang, putri pertama saya yang saya kasih nama alm. Diajeng Safaluna Prakarsa perpaduan bahasa jawa dan arab memliki arti bulan yang terang dan cantik. prakarsa nama belakang saya. yang sudah tak bernyawa kusentuh dan kubelai tanpa sekali menyesal dan meratapi hanya dibenk ingin segera menguburkan krn bokap pun cpt pengen dibawa kerumah utk sgera dimakamkan. krn sebaik2nya rencana manusia rencana allah yang lebih baik. ikhlas sangat ikhlas melepasmu kembali ke sang pencipta. tanpa memberitahu ke mertua debay yg sdh meninggal panik dan sedih. akhirnya mertua dijlskn olh bidan kl debay sudah meninggal jam 7 pagi. pikir saya hawatir panik krn mertua dlm perjalanan dr rangkas. 4 jam menunggu istri saya akhirnya kluar dr meja Operasi utk pindah ke kamar vip 114 utk perawatan. selamat jalan Dias (Diajeng Safaluna Prakarsa) bahagia di surga nak kami amat mencintaimu.

NB. tulisan ini saya bagikan krn tdk mau ada korban ketidaktahuan tentang kondisi dmn keadaan darurat utk dbw langsung ke RUMAH SAKIT bukan ke BIDAN. jangan malu utk  operasi caesar krn hak ibu utk hidup jauh lbh penting drpd sebuah gengsi. bpjs aktf jk keadaan darurat. utk lahiran d rsia kurnia (keadaaan darurat) minimal pernah konsultasi, usg di rsia kurnia cilegon atau peserta lama.

Agung Prakarsa

Minggu, 03 Februari 2013


Program Kerja KKM Kelompok 10
Kp. Cayur Rt 02/Rw     , Ds. Lebak Wana.

Pendidikan
·         Memberikan pelatihan computer untuk tingkat SMP dan SMA, dan juga aparatur desa.
·         Memberikan bimbingan belajar dalam mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), untuk semua tingkatan (SD, SMP, SMA).
·         Mengadakan nonton bareng “Movie Education”
·         Memberikan pelatihan/pembuatan database (SIM) kelurahan setempat.
·         Pembuatan program untuk data kelurahan.

Ekonomi
·         Membantu pemasaran emping dengan sistem online.
·         Membantu membuatkan warga sistem administrasi untuk penjualan.

Kesehatan
·         Membantu puskesdes dalam memberikan pelayanan kepada warga dalam pengobatan gratis.
·         Minggu sehat “senam”
·         Gotong royong (membersihkan lingkungan dari sampah)


JADWAL PIKET KELOMPOK 10
Minggu ke-
Nama
Minggu ke-1
Tgl 16-17 feb 2013
·         AGUNG PRAKARSA
·         DONI SEPTIAN
·         SAIYAH
·         JUNIOR
·         HENDRI

Minggu ke-2
Tgl 23-24 feb 2013
·         SUHILMAN
·         TATI ROHAYATI
·         FAIDOH
·         ANDRIAWAN
·         ANDI HIDAYAT

Minggu ke-3
Tgl 2-3 mart 2013
·         TB. RUSMANA
·         ARIZA CAHYADI
·         ELIN SUPRYATIN
·         RIA RESTIANI
·         FEBRIANTO

Minggu ke-4
Tgl 9-10 mart 2013
·         DHITA CITRA FRAGISTA
·         DINI SAIROJI
·         ROHMAT BUDI
·         MELSA OKTAVIANI
·         BADOWI
·         HENDRI

Minggu ke-5
Tgl 16-17 mart 2013
·         AGUNG PRAKARSA
·         DONI SEPTIAN
·         SAIYAH
·         JUNIOR
·         HENDRI

Minggu ke-6
Tgl 23-24 mart 2013
·         SUHILMAN
·         TATI ROHAYATI
·         FAIDOH
·         ANDRIAWAN
·         ANDI HIDAYAT

Minggu ke-7
Tgl 30-31 mart 2013
·         TB. RUSMANA
·         ARIZA CAHYADI
·         ELIN SUPRYATIN
·         RIA RESTIANI
·         FEBRIANTO


Minggu ke-8
Tgl 6-7 april 2013
·         DHITA CITRA FRAGISTA
·         DINI SAIROJI
·         ROHMAT BUDI
·         MELSA OKTAVIANI
·         BADOWI
·         HENDRI

Minggu ke-9
Tgl 13-14 april 2013
·         AGUNG PRAKARSA
·         DONI SEPTIAN
·         SAIYAH
·         JUNIOR
·         HENDRI

Minggu ke-10
Tgl 20-21 april 2013
·         SUHILMAN
·         TATI ROHAYATI
·         FAIDOH
·         ANDRIAWAN
·         ANDI HIDAYAT

Minggu ke-11
Tgl 27-28 april 2013
·         TB. RUSMANA
·         ARIZA CAHYADI
·         ELIN SUPRYATIN
·         RIA RESTIANI
·         FEBRIANTO

Minggu ke-12
Tgl 4-5 mei 2013
·         DHITA CITRA FRAGISTA
·         DINI SAIROJI
·         ROHMAT BUDI
·         MELSA OKTAVIANI
·         BADOWI
·         HENDRI








Jumat, 14 Desember 2012

ketika anda senyum 1000 teman akan datang ke anda. dan ketika anda sedih akan ada saru sahabat yang akan menemani anda.

Sabtu, 12 November 2011

Indonesia kalah telak oleh Qatar. sabtu dinihari

gaya permainan yang aneh, komposisi pemain yang aneh, dan keputusan pelatih yg mengganti bebrapa pemain yang sangat aneh, dari awal main hingga kebobolan 2 kosong timnas senior indonesia tampak bermain bingung. strategi yang tidak jelas di berikan oleh pelatih. masih layakah pelatih timnas senior kita??



Jumat, 11 November 2011

Oleh : Sahabat Rully Ferdiansyah

Sinopsis buku Tahun-Tahun Yang Hilang di Afrika Selatan :.
Kisah Kesabaran Seorang Lelaki Tua Dalam Menjalani Tahun-Tahun Terakhir Kehidupannya Ketika Diasingkan ke Afrika Selatan, Yang Kemudian Kesabarannya itu Menginspirasi Nelson Mandela, Pemimpin Agung Afrika.

Kisah tahun-tahun yang hilang di Afrika Selatan memang suatu cerita yang mutakhir, memberikan pencerahan. Ada keteguhan dalam memegang prinsip, kesabaran kekuatan hati, pun juga semangat yang tak pernah menyerah akan keadaan yang memprihatinkan.

Cerita ini sendiri terinspirasi dari sejarah kehidupan Syekh Yusuf AL Makasari Al Bantani saat diasingkan ke Afrika Selatan, suatu kisah panjang yang menceritakan seorang tahanan politik yang mencoba untuk memulai hidup baru di daerah yang terisolir dari dunia luar. Berusaha keras untuk tetap tegar demi keluarganya, yang ikut serta bersamanya, hidup di dalam pengasingan.

Berbeda dengan keadaan sebelum sewaktu sebelum diasingkan ke Afrika Selatan, sang tokoh Protagonis beserta keluarganya adalah seorang keluarga kesultanan Bontam yang begitu dihormati banyak orang. Tetapi semenjak kesultanan Bontam jatuh di tangan VOC, kehidupan sang tokoh protagonis yang bernama abah Ayub, berubah drastis. Abah Ayub beserta keluarganya tersudut dalam ironi yang sangat menyedihkan, karena harus menyesuai diri dan memberikan pemahaman kepada keluarganya agar bisa hidup dengan damai di tempat pengasingan, di Afrika Selatan.
Konflik demi konflik pergulatan jiwa terus membayangi abah Ayub dan semua keluarganya ketika mencoba untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan mereka di Afrika Selatan. Upaya keras dalam membangun persahabatan, menjalin kepercayaan dengan orang asli Afrika Selatan, dan juga upaya untuk mencoba kembali mempercayai orang kulit putih di Afrika Selatan (Afrikaaners), merupakan suatu cerita panjang yang mencoba untuk menunjukkan kepada kita akan kekuatan mental dan semangat untuk hidup meski dalam keadaan yang sulit. Empati, takdir kehidupan, sifat pengertian untuk memaafkan semuanya ada di sini. Suatu sikap kebajikan hidup yang sederhana, sikap kebesaran hati yang semua orang sudah mengetahuinya, namun menggema hingga berabad-abad kemudian, hingga akhirnya menjadi kekuatan yang menginspirasi dalam perjuangan seorang tokoh pejuang Afrika Selatan yang bernama Nelson Mandela dalam menentang Apartheid.


Pengantar
Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Banten, Jujur, baru kali ini saya mengetahui ada tokoh ulama pejuang seperti Syaikh Yusuf Al Makasari Al Bantani, ketika pertama kali saya mengenal Syaikh Yusuf dari Internet yang saya baca, saya kagum akan kisah kepahlawanannya dalam menentang penjajah, dan semangatnya untuk kemanusiaan di Afrika Selatan hingga menginspirasi Nelson Mandela. Karena besarnya jasa Syaikh Yusuf terhadap perjuangan orang Afrika Selatan dalam menghapus Apartheid, Syeikh Yusuf diangkat menjadi pahlawan nasional di Afrika Selatan, begitu pula di Indonesia, tapi sayangnya, banyaklah orang-orang di Indonesia, terutama orang Banten khususnya, pada umumnya belum mengetahui siapa itu Syaikh Yusuf. Hal ini membuat saya sedih, maka timbul kesadaran dari diri saya untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kehidupan, dan prestasi lelaki tua yang luar biasa ini saat ia menjalani pembuangannya di Afrika Selatan, walaupun saya sadar sepenuhnya, Selain Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Yusuf adalah figur paling menonjol dalam bidang spiritual dan kemanusiaan yang berasal dari Banten, ia telah menulis beberapa puluh karya keagamaan sewaktu menjalani pengasingan di Sailan (Srilangka), dan setiap karyanya menjadi sumber inspirasi dan pencerahan bagi para kafilah haji yang berasal dari Nusantara, yang berjuang menentang penjajah, kini karya-karya Syekh Yusuf masih bisa dijumpai di pesantren-pesantren salafiyah dan padepokan-padepokan Tarekat, ajaran-ajarannya masih lestari hingga saat ini. Tetapi tidaklah banyak orang yang mengetahui detail kehidupan Syaikh Yusuf pada tahun-tahun terakhir kehidupannya di Afrika Selatan. Meski begitu, dampak dari keberadaan Syekh Yusuf di Afrika Selatan sangatlah luar biasa. Hal tersebut mendorong saya untuk mengetahui lebih jauh tentang sosok Syekh Yusuf.

Kisah yang saya tulis dalam buku ini terinspirasi dari sejarah Syekh Yusuf, khususnya ketika ia berada di Afrika Selatan. Tokoh utama dalam kisah ini juga sengaja saya berikan nama Ayub bukan nama Syekh Yusuf, mengingat karya yang saya tulis ini bukanlah karya ilmiah melainkan karya sastra, jadi, bisalah dikatakan, nama abah Ayub, yang jadi tokoh protagonis dalam cerita ini, adalah representasi dari kehidupan Syaikh Yusuf saat menjalani kehidupan di Afrika Selatan, maka, setiap cerita yang terungkap dalam cerita ini, saya coba untuk mengungkapkannya lebih detail. Itulah mengapa saya menuliskan cerita ini dengan menamakan tokohnya Ayub daripada nama Syekh Yusuf, karena, diperlukan keahlian khusus sebagai ahli antropolog dan diperlukan juga modal yang tidak sedikit untuk melakukan penelitian lapangan mengenai kehidupan Syekh Yusuf di Afrika Selatan, sementara saya hanyalah seorang karyawan pabrik sepatu yang sangat mengagumi Syekh Yusuf, yang sangat tidak mungkin untuk melakukan semua penelitian itu. Kendati demikian, saya tidak ingin semua keterbatasan yang saya miliki, menghalangi saya untuk menuliskan kehidupan Syaikh Yusuf di tahun-tahun terakhir kehidupannya, walaupun saya menuliskannya dari sudut pandang sastra, jadi jangan mengharapkan keakuratan data dalam karya tulis saya ini. Meski begitu, jelas sudah tidak diragukan lagi bahwa Syekh Yusuf adalah seseorang tokoh ulama pejuang yang salih, yang menginspirasi, yang dapat menyapa segala bentuk jalan hidup dan keyakinan, mampu melintasi waktu selama berabad-abad dan beragam budaya. Kualitas kepribadian agungnya seperti, kesabaran, kebaikan hati, sikap pengertian untuk memaafkan dan lainnya, yang dimiliki Syaikh Yusuf, muncul secara langsung dari hati, dan ini ditanggapi oleh rakyat Afrika Selatan dengan meresapinya ke dalam jiwanya yang paling dalam, hingga melahirkan sosok mulia seperti Nelson Mandela.

Meskipun, karya tulis saya berupa sastra, tapi saya berusaha keras dengan imajinasi saya untuk memperkaya akan diskripsi suasana, dan karakter tokoh cerita seperti yang Syaikh Yusuf alami saat hidup di Afrika Selatan. Cara bercerita yang saya kemas juga saya usahakan agar mengalir dengan jernih, dengan sendirinya.
Baik itu abah Ayub ataupun Syekh Yusuf, adalah sama-sama sosok orang tua yang lemah lembut, ramah meski kehidupannya dipenuhi dengan keprihatinan, tetapi ia tetap bersikap tenang dalam menghadapi cobaan, yang biasa ia (Ayub) namakan ‘Ujian Agung’. Mereka berdua adalah sama-sama seorang ksatria yang selalu berjuang melawan kesia-siaan dengan kesabaran dan berdzikir, benar-benar luar biasa, Syekh Yusuf adalah seorang pionir, perintis perjuangan dengan cara anti kekerasan dalam melawan Apartheid di Afrika Selatan, bukan Gandhi.

Dengan mengingat itu semua, saya merasakan ada kebutuhan yang sangat mendesak agar ajaran dan pemikiran Syekh Yusuf bisa lebih mudah diakses oleh khalayak ramai, meskipun itu dengan perantara tokoh fiksi yang saya ciptakan bernama abah Ayub. Tapi, untuk menuliskan cerita abah Ayub agar bisa selaras, paralel dengan kehidupan Syekh Yusuf saat tinggal di Afrika Selatan bukanlah hal mudah, karena saya merasa bukanlah orang yang mampu untuk menyajikan karya sastra yang diambil dari inspirasi sejarah Syekh Yusuf dengan cara yang tepat. Hanya Allah semata saja yang tahu apakah penjelajahan saya yang terus menerus dan tiada henti, meski banyak kekurangannya, akan mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Buku sastra ini bukanlah dimaksudkan untuk menjadi bahan rujukan penelitian ilmiah atau akademik. Sungguh buku ini tidaklah pantas untuk dijadikan bahan referensi ilmiah kehidupan Syekh Yusuf saat menjalani pengasingannya di Afrika Selatan. Seandainya Syekh Yusuf masih hidup, dan membaca buku saya, mungkin ia akan tertawa terbahak-bahak, karena banyaknya tulisan saya yang tidak didasarkan pada fakta di lapangan. Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk menyampaikan pesan-pesan kebijaksanaan dalam melaksanakan hubungan spiritual dan hubungan kemanusiaan, yang dianut ulama-ulama leluhur, yang telah lama dilupakan oleh bangsa kita. Suatu pemahaman akan kehausan untuk memiliki kepribadian yang mulia, haus akan nama baik, keinginan kuat untuk melakukan Takhalli (membersihkan diri) dari sikap-sikap yang tidak terpuji  dan melakukan Tahalli (menghiasi diri) dengan sikap-sikap yang baik sesuai dengan keteladanan Rasul.

Tapi, semoga saja apa yang saya sajikan dalam penulisan buku ini, bisa mendorong para pembaca untuk mencari lebih jauh tentang Syekh Yusuf. Kekayaan ajaran dan pemikiran Syekh Yusuf selama hidup di Afrika selatan belumlah dijelaskan di dunia ilmiah dewasa ini. Keluasan dan ketinggian ilmunya, yang menjadikan dirinya sebagai ulama yang mendapatkan pengakuan sebagai ‘Putra Afrika terbaik’ dari Nelson Mandela, juga karena mengingat besarnya kepercayaan Sultan Ageng Tirtayasa pada Syekh Yusuf pada saat mengangkat Syekh Yusuf menjadi mufti kerajaan Banten. Sudah tidak diragukan lagi, kalau ajaran-ajarannya sangatlah perlu untuk dikenal dan diterapkan secara luas. Selain itu juga, dengan keteladanannya yang dipenuhi dengan wawasan luas tentang realitas manusia dan rahmat yang sejati, jelas sangat tepat dan teramat dibutuhkan di dunia yang kini mengalami krisis moral dan susila.

Sejarah telah menunjukkan bahwa Syekh Yusuf telah menjadi ulama yang berhasil membentuk dirinya menjadi ‘Rahmatan lil alamin’, sesuai dengan sunnah Rasul, ketika ia memperoleh pengakuan pahlawan nasional di negara Afrika Selatan. Rahmat bisa dipahami dan dirasakan oleh semua manusia dan semua makhluk hidup, dengan kapasitas dan derajat yang berbeda-beda pastinya, dengan perantaraan tindakan kebaikan dan perhatian. Walau begitu, rahmat  itu amatlah luas, tak mempunyai batas-batas. Sepanjang masa kehidupan masyarakat Indonesia selama masa penjajahan dan penindasan, realisasi sifat sejati dari rahmat telah dilakukan oleh para ulama-ulama pejuang dari semua daerah di negeri Indonesia. Dalam pandangan secara spiritual, kualifikasi rahmat yang tak terbatas itu terlihat dan dapat diketahui semua keagungannya, karena rahmat adalah faktor dalam eksistensi itu sendiri, dari yang tertinggi sampai yang paling rendah, tak ada satupun yang lepas darinya. Yang pasti, apapun dampak tertentu terhadap berbagai tingkat keberadaan, ampunan dan rahmat yang tiada batas itulah yang ada di dalam jantung kehidupan Syekh Yusuf. Saya menemukan kisah mengenai kehidupan Syekh Yusuf saat menjalani pengasingannya di Afsel adalah kisah yang menarik, indah dan menginspirasi, it’s a fascinating history, saya mendapat banyak pelajaran berharga dari sejarah Syekh Yusuf, saya harap para pembaca juga bisa merasakan hal yang sama dengan saya.

Saya banyak berhutang budi kepada kedua orang tua saya dalam membantu penulisan ini, rekan-rekan kerja. Berkat kedermawanan dan dukungan merekalah, maka penulisan buku ini bisa rampung. (Serang, 17 November, 2010.)




"Orang yang bijaksana bukanlah orang yang berbicara tentang kebijaksanaan atau menggunakannya, tapi orang yang mampu membuat kebijaksanaan menjadi Aktual, meskipun dia tidak menyadarinya sekalipun,"
(Ibn Arabi) 

Perpisahan Para Haji
Sudah delapan tahun lelaki tua itu tinggal bersama keluarganya di bumi Sailan (Srilangka), tinggal di dalam pengasingan. Lelaki tua itu sebenarnya orang besar. Setiap manusia di bumi Negri Bontam, baik itu dari para ulama, masyarakat sampai tiap bangsawan kesultanan, menyebutnya Syaikh Muhammad Ayub Al Cikulur. Tetapi hatinya akan merasa sedih jika ia dipanggil dengan sebutan Syaikh Agung sang Mufti Kerajaan. Semua orang tak hendak membuat sedih hati orang tua itu, maka mereka selalu menyebutnya dengan abah Ayub.

Semasa abah Ayub masih menjadi Mufti Kesultanan Bontam, bersama rakyat Negri Bontam, ia sempat bertempur melawan Belanda, yang memakan banyak korban di dua pihak. Tapi semenjak teman dekatnya, yang juga Sultan Negri Bontam ditangkap Belanda, perhatiannya tertumpah pada putra mahkota, Pangeran Salam yang meneruskan perjuangan ayahnya. Ia kembali berjuang bersama Pangeran Salam dengan bergerilya, semangat perjuangannya menentang dominasi Belanda tidaklah berkurang. Karena kegigihannya itulah, yang menyebabkan ia dibuang ke Sailan bersama keluarganya dan santri-santrinya.

Beberapa tahun belakangan ini, jamaah haji yang berasal dari Nusantara semakin ramai saja datang singgah ke bumi Sailan, jika semua jamaah haji sudah tiba di pulau Sailan, tempat yang wajib mereka datangi untuk bersilaturahmi adalah tempat abah Ayub. Pada musim haji, rumah abah selalu saja ramai dikunjungi para jamaah haji yang datang berkunjung. Selain karena ilmu agamanya yang tinggi, tapi juga karena rasa senasib, dan sependeritaan karena dijajah orang Belanda, abah Ayub sering dijadikan tempat bertanya, dan berkonsultasi oleh para jamaah haji asal Nusantara.

Kadang abah Ayub juga merasa kerepotan dalam melayani para kafilah haji, karena jamaah kafilah haji yang datang berkunjung padanya tidak bisa dikatakan sedikit, tapi sangatlah banyak. Kendati demikian, abah Ayub merasa sangat senang bisa bertemu dengan para kafilah haji yang berasal dari Nusantara, kadang ia bisa bertemu dengan kerabat dan sanak familinya dari jauh, ia bisa melepas rindu pada saudara-saudaranya, dan menanyakan kabar sanak familinya yang berada di tanah air.

Kini abah menanti di rumahnya, ia duduk di beranda rumah bersama cucunya yang berumur delapan tahun, Rabiah, mereka berdua menunggu kedatangan kafilah haji yang akan mampir ke rumahnya. Ia sudah merasa penasaran dengan perkembangan apa saja yang telah terjadi negeri Bontam setahun belakangan ini, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang akan ia tanyakan pada saudaranya, Haji Barmawi, yang selalu naik haji agar bisa bertemu dengan abah Ayub di Sailan. Dari Haji Barmawilah abah mendapatkan informasi mengenai perkembangan perjuangan rakyat Bontam yang saat ini tengah ditindas, dijajah oleh VOC.

Tapi sudah dua jam abah duduk menanti, kafilah haji tersebut belum juga tiba, biasanya pagi-pagi sekali, Haji Barmawi beserta rombongan haji yang dipimpinnya sudah tiba di rumah abah. Abah merasa khawatir, dalam hatinya, abah banyak berdo’a pada Allah, ia mendo’akan keselamatan dan keamanan para kafilah haji yang singgah ke Sailan. Jadi begitulah yang dilakukan abah setiap kali musim haji tiba, duduk di beranda rumahnya sambil memandangi halaman rumah yang dipenuhi dengan pohon-pohon kamboja yang hijau dengan penantian penuh harap.

Karena kafilah haji yang dinanti belum juga tiba, abah berdiri, dan berjalan mondar-mandir, lalu mulai berjalan ke halaman rumah, melihat keluar halaman rumah, menembus pepohonan yang lebat, abah berusaha mencari tanda-tanda kedatangan kafilah haji. Abah tidak menyadari, jika di pelabuhan, semua jamaah haji yang baru turun dari kapal tengah dihadang oleh pasukan kompeni. Pasukan kompeni yang menghadang jamaah-jamaah haji dari Nusantara sangatlah banyak sekali, dan terdiri dari berbagai macam pasukan, ada pasukan yang berkuda, dan adapula pasukan yang berjalan kaki.

Melihat pasukan-pasukan kompeni yang bertampang siap membunuh itu, Haji Barmawi merasa terkejut bukan main. Pikirnya, mengapa pasukan-pasukan kompeni itu bersikap sangat kasar kepada kafilah haji yang datang dengan damai. Haji Barmawi merasa geram dengan tindakan kasar para opsir kompeni itu, meski dilanda perasaan amarah, tapi Haji Barmawi berusaha menenangkan dirinya, dan para kafilah haji yang dipimpinnya itu.
“Jelaskan pada kami, mengapa kami tidak diperkenankan untuk keluar dari pelabuhan ini?” kata Haji Barmawi pada salah satu pemimpin opsir kompeni yang menaiki kuda.

“Kami hanya menjalankan perintah atasan, saya peringatkan sekali lagi, penuhilah kebutuhan kalian untuk berhaji di pelabuhan ini, kami sudah menyiapkan kebutuhan kalian untuk berhaji di pelabuhan ini, tapi jangan pernah mencoba keluar dari pelabuhan, kami takkan segan-segan untuk menembak para haji yang melanggar aturan ini,” kata Letnan Kueffeler.
“Apakah kalian akan menembak rombongan haji yang tidak bersenjata ini?” kata Haji Barmawi.
“Ya.. kami akan melakukannya jika kalian bersikeras untuk keluar dari pelabuhan,” kata Kueffeler, tegas. “Pasukan.. siapkan senjata, tembak semua calon-calon haji ini, jika mereka memaksa untuk keluar dari pelabuhan, biar mereka melaksanakan hajinya di Neraka,” lanjut Kueffeler.

Begitu mendengar instruksi dari Kueffeler, semua pasukan kompeni langsung menyiapkan senjata apinya, masing-masing pasukan kompeni memasukkan satu butir peluru yang berbentuk bulat seperti kelereng, setelah peluru dimasukkan, mereka mengeluarkan kantung serbuk mesiu yang diikat di ikat pinggangnya, kemudian membuka isi kantung serbuk mesiu itu, lalu memasukkan serbuk mesiu itu ke dalam mulut senapan, dan sesudah serbuk mesiu dimasukkan, mereka menjejalkan batang besi tipis ke dalam mulut bedil, untuk memadatkan semua isi mesiu dan peluru yang sudah dimasukkan sebelumnya, sekarang semua senapan para pasukan kompeni itu, sudah siap untuk ditembakkan. Semua senapan api jaman akhir tahun 1600-an itu ditodongkan pada rombongan para haji.

Semua prosedur penyiapan senjata api yang dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan militer itu, membuat semua orang sipil yang melihat itu pastilah akan mati walaupun senjata api tersebut tidak ditembakkan. Begitupula dengan para kafilah haji, semua calon haji tersentak kaget, mereka sama sekali tidak mempercayai apa yang dilihatnya, sebuah pemandangan mengerikan, dimana beberapa pasukan tentara kulit putih, tengah menyiapkan diri untuk membantai rombongan haji.

Haji Barmawi tidak ingin semua calon haji yang dipimpinnya itu mati konyol, maka ia pun berusaha keras untuk meredam situasi yang panas, ia berusaha untuk menenangkan para jamaah haji.
“Tenanglah kawan-kawan, jangan sampai kita memperburuk situasi, ingat pesan abah Ayub pada musim haji tahun kemarin, ia memerintahkan kita untuk menghindari pertumpahan darah yang sia-sia, tak ada yang namanya mati syahid di sini, pertempuran kita bukan di sini, pertempuran kita bukan di sini!” kata Haji Barmawi. “Lebih baik kita shalat Khauf berjamaah, dan berdzikir pada Allah, memohon keselamatan,”  
“Lalu bagaimana dengan abah, apakah untuk musim haji tahun ini kita takkan bisa bertemu dengan abah?” tanya salah seorang jamaah haji.
“Entahlah, saya tidak tahu, yang pasti, kita harus mencegah terjadinya pertumpahan darah yang sia-sia, kita datang kesini untuk naik haji bukan untuk berperang” ujar Haji Barmawi. “Marilah kita berdo’a bersama dalam shalat Istigosah, kiranya Allah akan memberikan penjelasan maksud semua ini,”

Dengan dipimpin Haji Barmawi, semua jamaah calon haji bersiap-siap melakukan shalat Istighosah, meski cuaca pada hari itu sangat terik, tapi para jamaah calon haji tak memperdulikannya, mereka seolah tak merasakan panas matahari itu. Para pasukan kompeni juga merasa heran dengan pemandangan yang dilihatnya, sebuah pemandangan yang menggetarkan jiwa, dimana sekitar 500 calon haji melakukan shalat Istighosah di lapangan pelabuhan. Baju-baju putih yang dikenakan para kafilah calon haji membuat silau bagi mata yang memandangnya, semua opsir kompeni pun tak sanggup melihat shakat Istighosah yang dilakukan para jamaah calon haji itu, semua tentara kompeni itu hanya bisa berdiri sambil menodongkan senjatanya, mematung, menunggu semua jamaah calon haji meninggalkan pelabuhan Sailan, dan melanjutkan perjalanan naik Haji ke Mekkah.
*

Beberapa orang kulit putih datang ke rumah abah dengan berkuda, mereka semua memakai baju militer, kedatangan mereka sangatlah ganjil, abah Ayub tak mengharapkan kehadiran mereka. Setelah selesai mengikat kuda-kudanya di depan halaman rumah abah, beberapa orang kulit putih menghadap pada abah Ayub yang tengah duduk di beranda rumah, abah sangat mengenal salah seorang dari tujuh orang kulit putih yang bertamu padanya, dengan penuh kesopanan, abah mempersilakan tamu-tamu kulit putihnya itu masuk ke beranda rumahnya.
“Silahkan masuk,” kata abah.
“Terima kasih tuan guru,” kata gubernur pemerintahan kolonial Sailan, Frederick De Kuck.
“Apakah yang membuat tuan gubernur repot-repot datang kemari, tanpa memberitahu kami? Apakah ada yang bisa saya bantu?” kata abah.
“Ya, saya akan memerlukan banyak bantuan tuan,” kata Frederick, lalu mulai berjalan menaiki tangga rumah abah bersama anak buahnya, lalu duduk di tempat duduk yang telah tersedia di beranda rumah abah. “Sebenarnya keperluan kami kemari adalah untuk...” kata Frederick, tapi ia merasa bingung untuk meneruskan ucapannya.
“Mengapa tuan bingung, saya tahu kedatangan tuan dan anak buah tuan ada maksud penting yang perlu tuan sampaikan pada saya, katakanlah terus terang,” kata abah, ramah.

Melihat keramahan abah tersebut, Frederick merasa makin bersalah, ia berlutut di hadapan abah, membuka topi dinasnya, dan menundukkan kepalanya, mukanya penuh harap, Frederick mengharapkan kebijaksanaan abah dalam situasi yang panas saat ini.
“Kita telah berteman sejak lama, saya sangat menghormati dan mengagumi tuan guru sebagai orang yang jujur, dan perihal ini sangat berat bagi saya untuk mengatakan ini, tapi saya sudah mendapat Besluit dari Kerajaan Belanda yang memerintahkan saya untuk memindahkan abah dari rumah ini ke Afrika Selatan.” kata Frederick.
“Afrika Selatan? Mengapa? Oooh tidak, apakah tidak cukup kalian sudah mengasingkan saya di Sailan selama delapan tahun, delapan tahun, dan sekarang ketika kami sudah kerasan di sini kalian akan mengirim saya dan keluarga saya ke tempat yang sama sekali tidak ada peradabannya, kalian ingin mengirim saya ke hutan, bagaimana kami akan hidup di hutan, katakan pada saya?” kata abah, sedikit gusar, kemudian menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk menerima kenyataan, lalu sambil duduk dengan terkulai, abah mengelus dadanya.
“Saya juga tidak setuju dengan perintah Besluit ini, tapi tuan jangan khawatir. Mengenai  kehidupan baru tuan di Afrika Selatan, pemerintah akan menjamin kehidupan dan kesejahteraan tuan di Afrika Selatan, kumohon tuan untuk pindah, pemerintah Kerajaan Belanda telah bertekad ingin memindahkan tuan dan semua keluarga tuan ke Afrika Selatan, apapun caranya, dan sekarang semua pasukan kompeni sudah menahan semua jamaah calon haji di pelabuhan, itulah mengapa tak ada kafilah haji yang datang ke sini,” kata Frederick.
“Betapa teganya, betapa kejinya cara kalian, kalian mengancam saya dengan keselamatan pemberangkatan jamaah calon haji, jika kalian menggunakan cara itu, maka saya pun merasa terancam dan merasa takut dengan ancaman anda itu, baiklah kalau kalian menghendaki saya dan keluarga saya pindah, saya akan pindah,” kata abah, menundukkan kepalanya, lemas.

Semua keluarga abah, termasuk santri-santrinya banyak yang menangis, ketika mereka mengetahui bahwa mereka harus pindah ke Afrika Selatan. Diantara keluarga abah yang paling histeris dalam menerima kepahitan hidup itu adalah istri muda abah, Aisyah. Sewaktu melihat barang-barang rumah yang mulai dikemas oleh para santri abah, Aisyah menangis sekeras-kerasnya, ia berlutut, kakinya lemas, tak mampu untuk berdiri, ia tak kuat melihat kenyataan itu, istri tua abah, Fatimah segera saja menghampiri Aisyah, ketika ia melihat Aisyah yang tengah Shock, Fatimah langsung memeluknya, dan mencoba menghiburnya.
“Sudahlah Aisyah, jangan menangis lagi, jangan menangis lagi, istighfar..istighfar, kuatkan hati,” kata Fatimah.
“Mereka telah merampas kesultanan milik ayah saya di Bontam, dan sekarang mereka hendak merampas kehidupan sederhana kita di sini, mengapa mereka melakukannya ketika kita sudah kerasan tinggal di sini?” kata Aisyah, histeris.

Fatimah diam saja, tak menjawab pertanyaan Aisyah, ia hanya bisa merangkul Aisyah lebih erat, mengusap-ngusap kepalanya, memberikan kasih sayang, menghiburnya untuk meringankan beban Aisyah, meski ia juga merasakan kesedihan yang amat mendalam.

Barang-barang perabotan rumah abah Ayub tidaklah begitu banyak, semua santri-santri hanya mengemas baju-baju, perlengkapan alat-alat tukang, seperti golok, gergaji dan kapak, hanya itu saja yang mereka bungkus, dikemas untuk dibawa ke Afrika. Tapi sewaktu semua santri-santri abah hendak mengemas buku-buku keagamaan karya guru mereka, abah Ayub. Salah seorang anak buah Frederick mencegah mereka. Berdasarkan Besluit pemerintah Kerajaan Belanda, abah Ayub dilarang membawa buku-buku keagamaan karangannya, bahkan kitab suci Al-Qur’an pun ikut pula dilarang untuk dibawa. Semua santri abah menjadi emosi karena dilarangnya membawa buku-buku tersebut.
“Apakah bahayanya kami membawa buku-buku keagamaan, kenapa kalian melarang kami membawa buku-buku ini?’ kata salah seorang santri abah, Somad.
“Maafkan saya tuan, saya hanya menjalankan perintah saja, dan perintahnya adalah untuk melarang kalian membawa kitab-kitab keagamaan karangan guru kalian,” kata salah seorang anak buah Frederick.
“Ada apa ini? Benarkah yang kau katakan itu?” kata abah, menghampiri Somad dan opsir kompeni.
“Benar Tuan guru,” kata opsir kompeni.

Abah merasa marah dengan keterangan yang baru saja di dengarnya itu, ia akan meminta penjelasan dari Frederick, maka dengan tergesa-gesa ia berjalan menghampiri Frederick yang tengah sibuk memperhatikan anak buahnya yang sibuk mengemas barang-barang abah.
“Apakah itu benar, kalian tidak memperkenankan kami untuk membawa kitab-kitab kami,” tanya abah.
“Betul tuan, itu benar, tuan guru hanya diperbolehkan untuk membawa perlengkapan-perlengkapan yang pokok saja,” kata Frederick.
“Kenapa?”
“Begini tuan, keberadaan tuan selama delapan tahun di pulau Sailan, dinilai sangat membahayakan pemerintah kolonial di Nusantara, pemikiran tuan dan ajaran tuan yang di bawa pulang oleh para kafilah haji yang singgah kemari, sungguh sangat meresahkan pemerintah kami, oleh karena itu pemerintah kolonial pusat memutuskan untuk menyita semua kitab-kitab keagamaan karangan tuan, seandainya saya bisa mencegahnya, saya akan mempersilakan tuan guru untuk membawa kitab-kitab, saya sendiri tidak peduli dengan pemikiran dan ajaran tuan, tapi keputusan itu bukanlah ditangan saya,”
“Apakah itu termasuk dengan kitab suci Al-Qur’an, apakah kalian melarang kami membawa Al Qur’an?”
“Sayangnya iya, Qur’an juga termasuk dalam buku-buku yang dilarang,”

Tubuh abah Ayub terasa lemas, ia mencari-cari kursi untuk menyandarkan tubuhnya, dan ketika ia telah menemukan kursi, abah duduk terkulai di kursinya, ia tak mampu berkata-kata, ia merasa sedih bukan main, ia tak peduli dengan kitab-kitab karangannya, tapi ia memikirkan betapa kejamnya pemerintah Belanda yang melarang dirinya membawa kitab Al Qur’an. Bagaimana ia bisa hidup tanpa Al Qur’an. Abah berusaha menguatkan hatinya dalam menerima kenyataan pahit itu, bahkan ketika Somad datang mengeluh mengenai perihal pelarangan membawa kitab Al Qur’an itu, abah hanya bisa menyarankan Somad untuk sabar dan bertawakkal pada Allah.
“Bagaimana kita bisa bersabar, jika harga diri kita sebagai umat muslim diinjak oleh orang kafir,” kata Somad emosi.
“Kendalikan diri kamu,” kata abah, menatap tajam pada Somad. “Kemarilah, mari saya tunjukkan padamu,” kata abah, lalu membawa Somad menuju halaman beranda rumah, kemudian mengarahkan tangannya, menunjuk ke luar rumah, ke arah pepohonan yang rindang. “Lihatlah dengan cermat, kamu akan melihat ada beberapa pasukan kompeni yang berkuda yang menunggu di tengah hutan, mereka semua bersenjata, kamu tahu itu apa artinya?” tanya abah.
“Ya guru, mereka bertugas untuk mencegah dari kemungkinan yang terburuk, jika seandainya kita melakukan perlawanan,” kata Somad.
“Kita takkan berguna bagi agama dan kemanusiaan jika kita mati konyol di sini, bersabarlah, kamu harus kuat, sekarang bersiap-siaplah untuk keberangkatan kita ke Afrika, turuti saja kemauan mereka,”
“Baik abah,” kata Somad, lemas, tak bersemangat.

Abah tidak berkata apa-apa, pada hari itu abah tidak banyak bicara, ia hanya diam saja, diantara semua orang yang bersedih karena harus meninggalkan Sailan, sebenarnya abahlah yang paling bersedih mengenai hal itu, tapi abah menguatkan diri, menguatkan hati untuk tidak menampakkan kesedihan dihadapan keluarganya dan santri-santrinya, meskipun ia telah lelah menguatkan diri. Sekarang, setelah semua pekerjaan berkemas-kemas telah usai, dan abah beserta rombongan siap untuk berangkat menuju pelabuhan, Frederick datang menghampiri abah.
“Maafkan saya tuan, saya sudah berusaha meyakinkan pemerintah pusat untuk tidak memindahkan tuan guru ke Afrika, tapi atasan saya tetap bersikeras untuk mengasingkan abah ke Afrika, keberadaan tuan dianggap terlalu berbahaya di pulau Sailan ini,” kata Frederick menyayangkan. “Tapi tuan guru jangan khawatir, saya akan memastikan agar tuan guru dan keluarga tuan guru diperlakukan dengan baik di Afrika, saya akan menyurati gubernur Afrika Selatan, agar ia menjamin kesejahteraan tuan guru,”
“Saya sangat menghargai kebaikan tuan gubernur, sekarang kami sudah siap berangkat menuju pelabuhan, apakah tuan gubernur tidak ikut bersama kami ke pelabuhan?” kata abah.
“Saya sangat ingin mengantar tuan ke pelabuhan, tapi sayangnya saya harus disini dulu, saya harus menginventarisasi inventaris negara di rumah tuan yang tuan tinggalkan ini, pekerjaan yang membosankan, saya diminta untuk membuat laporan administrasi mengenai keberangkatan abah ke Afrika, tapi saya akan menyusul tuan guru secepatnya, begitu saya selesai membuat laporan,”
“Aaah.. baiklah kalau begitu,” kata abah, tersenyum ramah.    
*

Para jamaah calon haji baru saja menyelesaikan shalat Istighotsahnya dan telah berdo’a dengan sepenuh hati dalam shalatnya, setelah hati mereka terbakar karena penindasan yang dilakukan bangsa Belanda. Cuaca terasa sangat panas, Haji Barmawi bangkit dari duduknya, ia berdiri di hadapan para kafilah haji yang berjumlah ratusan itu. Haji Barmawi mengambil tasbihnya, baru saja ia hendak menyarankan para kafilah haji untuk berdzikir bersama dalam majelis dzikir, namun ia terpaksa membatalkan niatnya saat ia melihat abah Ayub dan rombongannya tiba di pelabuhan dengan dikawal beberapa pasukan kompeni. Semua calon haji langsung berdiri, mereka bergegas menuju abah dan mengerumuninya, Haji Barmawi juga tak ketinggalan, dengan susah payah ia berdesak-desakan dengan para haji, berusaha mendekati abah. Begitu jarak Haji Barmawi sudah amat dekat dengan abah, ia berusaha menegur abah, memanggilnya, tapi abah tak balas menyahut, meski abah mendengar sangat jelas suara Haji Barmawi, abah pura-pura tidak mendengarnya, jiwa abah tak kuat untuk mengucapkan perpisahan dengan para calon haji, khususnya pada Haji Barmawi. Merasa kesal karena diacuhkan oleh abah, Haji Barmawi merasa kesal, maka ia berteriak pada abah.
“Jika abah masih menganggap saya saudara, katakanlah apa yang terjadi, kenapa abah dan keluarga abah dikawal kompeni? Jangan biarkan saya dan para calon haji merasa penasaran, kumohon.. kumohon beritahukanlah pada kami,” kata Haji Barmawi, lalu berlutut di hadapan abah, menundukkan kepalanya dengan sedih.

Tidak hanya Haji Barmawi saja yang berlutut di hadapan abah, semua calon haji juga ikut berlutut, ada beberapa haji yang menangis, membuat suasana menjadi kelam. Abah merasa tak tega melihat Haji Barmawi dan para calon haji lainnya berlutut di hadapannya.
“Kawan-kawan para calon haji, sejak hari ini kalian takkan pernah melihat saya lagi, tapi ingatlah segala pesan-pesan dan nasihat-nasihat saya, jalankan ajaran agama Islam dengan penuh penghayatan, dan jagalah persatuan umat agar kalian tidak bisa diadu domba oleh penjajah, jagalah diri kalian, semoga haji kalian tahun ini mabrur,” kata abah.
“Tidak.. kami takkan membiarkan orang Belanda menjauhkan abah dari kami,” kata Haji Barmawi, penuh emosi.

Semua calon haji yang lain juga ikut terbawa emosi, dengan serentak mereka meneriakkan Allahu Akbar. Semua tentara kompeni merasa gentar mendengar teriakan Allahu Akbar itu, mereka merasa terancam. Letnan Kolonel Kueffeler juga ikut pula merasa terancam dengan bangkitnya semangat para haji. Karena merasa mendapat ancaman, Letkol. Kueffeler mengumpulkan pasukan berkudanya dan memerintahkan para pasukan berkuda untuk berjalan ke arah para Haji yang berkumpul, menggilas para haji. Maka semua pasukan kompeni itu berkumpul menjadi satu barisan, bahkan para tentara Belnada yang mengawal abah pun meninggalkan abah, berlari ke arah pasukan Letkol Kueffeler dan ikut berkumpul bersama pasukannya.

Melihat ratusan pasukan berkuda yang berjalan ke arah para haji, abah Ayub berusaha keras menenangkan para calon haji, ia tak habis pikir, mengapa orang Belanda bisa tega mau menggilas para haji yang tidak bersenjata, yang berniat beribadah berhaji ke tanah suci. Abah takkan membiarkan pasukan kompeni itu membantai para haji.
“Diammmmm... hentikan teriakan kalian, lihatlah ke depan, ada pasukan berkuda yang bersiap untuk membunuh kita, dan kini mereka tengah menambah kecepatan,” kata abah, penuh emosi.
“Oh tidakk, apa yang akan kita lakukan?” kata Haji Barmawi.
“Jangan panik, kalian semua jangan panik, ikutilah aba-aba saya,”
“Aba-aba apa?” kata salah seorang jamaah haji.
“Pada saat pasukan berkuda itu sudah dekat, sekitar jarak empat kaki, kalian semua harus tiarap, tiaraplah kalian semua, agar kuda-kuda kompeni itu tak mampu menggilas, menginjak-nginjak kita,”
“Baiklah.. kami semua akan mengikuti aba-aba dari abah,” kata Haji Barmawi, yang diikuti dengan anggukan kepala para calon Haji.

Pasukan-pasukan berkuda itu mulai menambah kecepatannya sedikit demi sedikit, tiap opsir dari pasukan yang berkuda pun mulai mengeluarkan pedang panjangnya dari sarungnya, dan para haji hanya bisa menguatkan diri dengan teriakan Allahu Akbar. Tapi ada juga beberapa calon haji yang hanya bisa berdo’a dalam hatinya dengan mata terpejam dan mulut berkomat-kamit. Sepertinya, diantara semua umat Islam yang berkumpul di pelabuhan, hanya abah Ayub saja yang tetap teguh berdiri, tanpa rasa takut. Abah menatap pasukan berkuda yang menuju ke arahnya, ia mengamati dengan cermat pasukan-pasukan berkuda itu, dan ketika pasukan itu sudah dekat, hanya tinggal sejarak 6 kaki saja, abah memberi aba-aba dengan tangannya, memerintahkan para calon haji untuk bersiap-siap, dan ketika pasukan-pasukan berkuda itu sudah memasuki jarak 4 kaki, abah berteriak.
“Tiarappppppp.... tiarap semuaaaa,” kata abah, tapi tetap pula berdiri tegak meski semua haji telah tiarap, berbaring di tanah, semua tanah di pelabuhan mendadak menjadi putih, karena tertutupi oleh para Haji yang bertiarap di atas tanah. Abah Ayub pun terjatuh dari berdirinya, tapi tidak begitu keras, ketika berhadapan dengan kuda yang ditunggangi Letkol Kueffeler, tapi anehnya, begitu abah tersungkur ke tanah, hingga ikut pula bertiarap bersama para jamaah haji yang lain, kuda Kueffeler berontak, meronta-ronta pada majikannya.

Kuda-kuda yang lainnya pun langsung berhenti, berontak pada tuan-tuan kulit putihnya, kuda-kuda tersebut berdiri dengan kedua kakinya di belakang, sementara kedua kaki depannya meronta-ronta, sehingga banyak para penunggang kuda yang terjatuh dari kudanya. Letkol. Kueffeler adalah yang termasuk penunggang kuda yang jatuh dari kudanya. Tubuhnya terjatuh dengan keras, hingga menyebabkan dua tulang rusuknya patah, Kueffeler mengerang kesakitan. Dengan dibantu anak buahnya, Kueffeler mencoba untuk berdiri.
“Dasar haji-haji sialan, kenapa kalian tidak mati saja,” kata Kueffeler berteriak sambil menahan rasa sakit di rusuknya yang patah.

Karena merasa tidak ada lagi ancaman yang membahayakan jiwa, abah berdiri dari tiarapnya, para calon haji juga ikut pula berdiri bersama pemimpinnya abah dan Haji Barmawi. Mendengar kemarahan dari mulut Kueffeler, abah tersenyum, ia menatap dengan penuh keramahan ke arah Kueffeler. Pandangan ramah dari abah membuat Kueffeler menjadi merasa serba salah, tapi ia tetap pula marah dan berteriak pada abah.
“Kalian orang-orang fanatik dan orang-orang pembangkang, saya peringatkan kalian untuk jangan membuat keributan di sini,” kata Kueffeler.
Alhamdulillah jika masih ada orang yang mau mengingatkan kami,” kata abah tersenyum, “Tapi demi Allah, sebagai sesama manusia kita harus saling mengingatkan,” lanjut abah, berubah raut mukanya menjadi serius, menatap tajam pada Kueffeler.

Dalam situasi perdebatan itu, Kueffeler hanya bisa diam saja, dipenuhi rasa malu tapi mencoba menyembumyikan rasa malu itu dengan rasa marahnya. Ia merasa gengsi untuk mengakui kesalahannya. Ia tahu, kalau dirinya sangat beruntung masih bisa hidup karena terjatuh dari kuda, tidak seorangpun yang bisa selamat dari kejadian jatuh dari kuda. Namun, demi rasa harga dirinya pada anak buahnya, ia harus tetap memperlihatkan ketegasannya pada musuh. Sekali musuh selamanya akan tetap menjadi musuh, begitu pikir Kueffeler.

Frederick baru saja tiba di pelabuhan, dan merasa terkejut saat melihat pasukan-pasukan kompeni yang berkuda berkerumun mengelilingi kafilah haji. Ia tidak paham apa yang baru saja terjadi, dan ia harus mengetahui apa yang baru saja terjadi. Dalam tugasnya yang mengharuskannya untuk memastikan keberangkatan abah Ayub ke Afrika Selatan dengan aman, membuat sikapnya menjadi tidak labil. Ia benci tugas itu dan merasa kasihan pada dirinya sendiri, karena harus mengusir orang mulia seperti abah. Abah Ayub adalah orang yang sangat baik, sangat jujur, abah selalu bersikap sopan terhadap dirinya. Sekarang, setelah Frederick mengetahui apa yang baru saja terjadi, ia merasa marah terhadap Kueffeler, ia akan menegurnya nanti.

Sambil mengendarai kudanya, Frederick masuk ke dalam kerumunan dan mencoba untuk meredakan situasi. Di depan khalayak ramai, ia memarahi Kueffeler dengan sangat keras, hingga membuat Kueffler hanya bisa terdiam, menundukkan kepalanya, merasa malu kepada semua anak buahnya. Setelah Frederick memarahi anak buahnya, dengan hati-hati ia turun dari kudanya, menghampiri abah, kemudian dengan sopan ia meminta maaf pada abah dan pada semua calon haji.
“Saya benar-benar meminta maaf pada tuan, seharusnya saya bisa mencegah kejadian ini, dengan datang kemari bersama tuan,” kata Frederick, menyayangkan.
“Sudahlah, kejadian ini tidak bisa dihindari, tapi untunglah Allah menyelamatkan kita semua,” kata abah. “Sekarang dimanakah kapal yang akan mengangkut saya dan semua keluarga saya ke Afrika selatan?”
“Kapal yang ada di hadapan tuan, kapal itu,” kata Frederick, sambil menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah kapal yang bertada di hadapan abah.   
“Aaaah.. kapal yang sangat bagus, kalau begitu saya ingin berpamitan pada semua kafilah haji, apakah itu dilarang?” kata abah, menyindir sambil tersenyum ramah.
“Tidak... tidak silahkan tuan berpamitan, mengucapkan salam pada semua kafilah haji, silahkan tuan guru,” kata Frederick, dan abah pun tanpa membuang waktu, langsung berjalan meninggalkan Frederick. Abah menghampiri kafilah haji, lalu mulai berkata-kata pada calon-calon haji itu.
“Hari ini adalah hari yang istimewa, jangan lupakan hari ini, jangan pernah lupakan hari ini, hari dimana kita mengalami suatu peristiwa yang menakjubkan, hari dimana Allah telah menunjukkan rasa kasih sayang-Nya pada kita. Janganlah sampai kalian melupakan hari ini, karena jika kalian melupakannya, kalian adalah orang yang tidak tahu berterima kasih, tidak bersyukur. Kalian hampir saja tidak bisa berhaji pada hari ini. Dengarlah semua perkataan saya baik-baik, dengan amat menyesal saya sampaikan pada kalian, bahwa pada hari inilah saya akan berpisah dengan kalian, kita takkan bisa bertemu lagi di kehidupan ini, tapi semoga Allah akan mempertemukan kita di kehidupan berikutnya.” Kata abah, menundukkan kepalanya, menangis. Semua calon haji pun ikut pula menangis bersama abah. “Mulai hari ini saya takkan lagi tinggal di pulau Sailan, pemerintah kolonial Belanda telah memutuskan untuk memindahkan saya beserta semua keluarga saya ke Afrika Selatan, tempat terpencil yang terputus dari dunia luar dan dunia agama, mulai sekarang kita hanya bisa berjuang melalui do’a-do’a, ooohhh saudara-saudaraku.. do’akanlah saya dalam ibadah haji kalian pada tahun ini, doakanlah keselamatan saya, keluarga saya di Afrika, saya juga akan mendo’akan perjuangan kalian di negeri kalian. Ingatlah satu hal, meski orang kulit putih telah melemahkan hukum Syariat dengan melemahkan pemerintahan kesultanan dan melemahkan penguasa kesultanan yang akan menjamin terlaksananya hukum syariat, menggantikannya dengan kesultanan boneka, yang dengan pemerintahan boneka itu orang Belanda akan memperbudak penduduk di negeri kita, tapi jangan khawatir, tapi jangan khawatir, mereka bisa menghancurkan kerajaan surga di negeri kita, tapi mereka takkan bisa menghancurkan kerajaan Allah di hati dan jiwa kita. Hati kita sangatlah luas, karena hati kita dipenuhi dengan penghayatan agama, hati kita adalah tempat berdirinya sebuah kerajaan, jadikan hati kalian sebuah kerajaan Allah yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan pada sesama, jagalah kerajaan Allah dalam hati dan jiwa kalian, jangan sampai ternoda oleh tipu daya penjajah kulit putih, jangan sampai mau diadu domba, meski saya tak bersama dengan kalian lagi, tapi do’a saya selalu menyertai kalian, saya akan mendo’akan perjuangan kalian dalam tiap shalat saya. Do’a yang keluar dari hati yang tulus adalah sebuah senjata ampuh dalam melawan penindasan, janganlah berputus asa, tetaplah bersabar dan bertawakkal pada Allah, Insya Allah perjuangan kita akan kemerdekaan akan terwujud, Oooh Saudara-saudaraku yang seiman, laksanakan rukun haji ketika kalian mendapat kesempatan, karena kelak kalian akan dilarang berhaji oleh penguasa, perbanyaklah sabar di dalam kesempitan, tunjukkanlah kalian lebih baik daripada orang kulit putih dengan kesabaran dan kebaikan hati, jangan ikut menjadi penindas mengikuti penguasa, di jaman ini kalian harus banyak bertapa, bertafakur, jauhilah dunia kekuasaan, jangan sampai kalian terjun ke dunia politik, jangan pernah membantu penguasa, karena penguasa di jaman sekarang telah ternodai oleh pengaruh penjajah, bersabarlah, menyepilah, Insya Allah, Allah akan memenangkankan perjuangan kalian di dalam kesunyian kalian, karena kesunyian kalian lebih kuat daripada kata-kata,” kata abah, mengusap air matanya, lalu mulai berjalan meninggalkan para calon haji, dengan langkah yang sangat berat abah memaksakan diri untuk berjalan menuju kapal layar yang membawanya dan semua keluarganya ke Afrika Selatan.

Untuk berjalan menuju kapal bagi abah sangatlah sukar, karena para calon haji yang menghadang, berebutan untuk mencium tangan abah. Hati abah makin terasa remuk ketika para calon haji berebut mencium tangannya, banyak haji-haji yang menangis, menangisi kepergian abah ke Afrika. Abah tak boleh berlama-lama di tengah kerumunan para haji, hal itu hanya akan menambah kesedihannya saja, dan abah tak boleh larut dalam kesedihan. Maka abah bergegas berjalan menuju kapal, bersama keluarganya ia langsung memasuki kapal, meninggalkan para haji. Tapi pada saat abah beserta keluarganya tinggal selangkah lagi untuk memasuki kapal, Frederick menahannya dengan sopan, Frederick merasa berkewajiban untuk memberikan sesuatu pada abah.
“Saya merasa sangat bersalah karena melarang tuan membawa kitab-kitab tuan, sekarang terimalah alat-alat tulis dan kertas-kertas polos ini dari saya, mungkin abah berkeinginan untuk menulis lagi di tempat tuan yang baru,” kata Frederick, sambil menyerahkan alat tulis dan dua dus kertas polos pada abah.
“Terima kasih banyak, pemberian anda sangat berarti bagi kami,” kata abah, lalu mengulurkan tangannya, menjabat tangan Frederick dengan erat.
“Tidak.. sayalah yang berterima kasih,” kata Frederick, ramah, tersenyum.
*

Abah Ayub berdiri di atas permukaan kapal layar yang besar, terbuat dari bahan kayu yang kokoh, luasnya sama seperti kapal perangnya VOC, hanya saja kapal layar ini berfungsi untuk pengangkutan sipil dan rempah-rempah (Dagang), kapal Layar itu bernama De Roentoeg. Pada saat kapal itu mulai mengangkat jangkarnya dan mulai berlayar, abah melambaikan tangannya pada para calon haji, ia sadar sepenuhnya, hari ini adalah hari terakhir ia bisa bertemu dengan Haji Barmawi dan para calon haji yang mencintainya, hanya Aisyah saja yang tak mampu untuk melambaikan tangannya, dengan mata yang memerah karena menahan air mata, Aisyah hanya bisa melihat para haji, ada pula saudaranya yang ia kenal diantara para calon haji itu, membuat hatinya makin remuk, ketika ia melihat para kafilah haji yang berlarian di pelabuhan mengikuti kapal yang mengangkut abah beserta keluarganya, para haji itu melambaikan tangannya, sambil berteriak meneriakkan nama ‘Abah..abah’. Somad masih belum bisa menerima kenyataan, ia mendapatkan ide untuk kebebasan abah dan semua keluarga abah. Dengan hati-hati, Somad berbisik pada abah yang sibuk menatap para haji dibawah kapal.
“Abah, saya punya ide, bagaimana kalau kita kuasai kapal ini, lalu kita ubah jalur kapal ini, ketika kapal ini sudah  berada di tengah laut,, bagaimana abah?” kata Somad.
“Ide yang menarik, tapi lihatlah dua kapal itu yang ikut berjalan di belakang kapal kita, apakah kamu menemukan sesuatu yang mencurigakan dari kedua kapal itu?” kata abah.
“Sepertinya kapal itu, kapal sipil,”
“Bukan sembarang kapal sipil, lihatlah pada dinding-dinding kedua kapal itu. Ada terdapat pintu-pintu misterius yang berukuran besar, jika tidak salah, pintu-pintu tersebut biasa digunakan sebagai pintu meriam. Kedua kapal yang membuntuti kapal kita itu adalah kapal militer, kedua kapal itu bertugas untuk mengawal perjalanan kapal ini,” kata abah, menjelaskan.
“Kalau begitu apa yang harus kita lakukan?” kata Somad, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak ada, kita tidak akan melakukan apa-apa,” kata abah, tegas. “Memang sangat berat bagi kita untuk meninggalkan saudara-saudara kita, kita pergi ke tempat asing, kenyataan itu sangat mengguncang jiwa, setiap orang yang mengalami dengan apa yang kita alami pasti akan Shock, takkan ada orang yang mampu menerima cobaan seperti cobaan kita, ini ujian agung, tetapi meski cobaan itu berat, kamu harus bisa menghadapi kenyataan, kita harus menerima kenyataan dengan pemahaman yang sempurna, agar kamu bisa mengetahui hikmah dalam setiap peristiwa, bersabarlah, bersabarlah, Allah beserta kita, Dia takkan meninggalkan hambaNya,” kata abah, sambil memegang pundak Somad. Sementara Somad hanya bisa menundukkan kepalanya, mencoba untuk menerima kenyataan.  
(Bersambung ke Chapter Masa-masa Sulit)